Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Sabtu, 28 November 2020 | 16:48 WIB
ILUSTRASI. DN (45) dirawat di RSUD R Syamsudin Kota Sukabumi usai dianiaya suaminya sendiri. [Ist]

SuaraJabar.id - Tini, tentu saja bukan nanma sebenarnya. Perempuan berusia 44 tahun ini bercerita banyak tentang pengalaman buruk menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya selama beberapa tahun ke belakang.

Ia kerap mendapatkan perlakuan kasar dari mantan suaminya. Mulai dari kekerasan verbal hingga kekerasan fisik sempat akrab dialami Tini.

Tini berprofesi sebagai penjual bakso. Didampingi salah satu pendamping korban KDRT dari Yayasan Sapa Institute, saya menghampiri Tini dan meminta dia berbagi kisah pilunya.

Siang itu, gerobak bakso berkelir biru mejeng di pinggir Jalan Cigentur, Majalaya, Bandung. Berjarak sekitar 5 meter dari gerobak, Tini terlihat duduk menunggu pembeli.

Baca Juga: Suami Siram Istri Pakai Air Keras karena Cemburu Sering Main TikTok

Ibu dua anak itu terlihat lebih ceria, seolah tak memiliki pengalaman pernah menerima kekerasan. Prolog percakapan pun dimulai dengan senda gurau.

Saat saya melontarkan pertanyaan ihwal kesediaan Tini untuk diwawancarai tentang pengalaman suram yang dilaluinya, ia malah menjawab dengan candaan.

"Iya silahkan, asal jangan masuk TV ya, kalau jadi sinetron mah gak apa-apa," katanya, Rabu (18/11/2020).

Awalnya, Tini menganggap cekcok dalam rumah tangga merupakan hal biasa, tapi semakin hari intensitas konflik yang dia rasakan dengan suaminya semakin sering terjadi.

Terhitung sejak Juni hingga Agustus 2020, berkali-kali Tini mendapat kekerasan fisik dari suaminya. Suaminya menjadi lebih pemarah pada periode itu, setelah memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai supir ojek online.

Baca Juga: Profil Johnny Depp Terlengkap

ILUSTRASI KDRT. Tersangka AS (28) memeragakan adegan penusukan yang dilakukan kepada istrinya dalam rekonstruksi di halaman Mapolres Serang, Banten, Jumat (5/6/2020). [Foto: Banten News]

Kekerasan fisik ataupun psikis beberapa kali sempat dialami Tini dalam beberapa tahun ke belakang, tapi intensitas kekerasan lebih sering dia rasakan sejak wabah virus Corona merebak. Pandemi Covid-19 memang bencana bagi semua orang, tapi bagi Tini, selain Sampar, suaminya pun menjadi bahaya kedua baginya yang tak kalah mengerikan.

Sebelumnya, hubungan Tini dan suaminya sudah renggang lantaran tindakan kekerasan fisik dan verbal yang sering dilakukan si suami terhadap Tini.

"Sampai 3 kali mengucapkan cerai, hal itu berarti kan sudah talak tiga menurut keyakinan (agama) saya, buku nikah pun sampai disobek, makanya dia pun sempat pergi," jelasnya.

Puncaknya terjadi pada pertengahan Agustus 2020, kemarin. Suaminya tiba-tiba datang lagi menghampiri Tini yang sedang berjualan bakso. Ia meminta untuk rujuk dan minta memaafkan perlakukan kasar yang dilakukannya.

Tini mengaku memaafkan semua tindakan yang dilakukan suaminya, tapi untuk rujuk, ia dengan mantap menolak permintaan suaminya.

Hal itu memicu amarah suaminya. Beberapa kali Tini dipukul di bagian wajah. Gerobak bakso menjadi saksi bisu kelakuan bejat suaminya saat itu terhadap Tini. Saat sedang dipukuli, Tini hanya bisa berdoa dalam hati, semoga ada pembeli datang agar tindakan yang dilakukan suaminya itu berhenti.

"Tapi kebetulan saat itu tidak ada satu pun pembeli datang, dan dia semakin menjadi-jadi," katanya.

Suaminya semakin kalap dan membawa gunting yang tergeletak di laci gerobak bakso, lantas pelaku memegang bagian lancip gunting agar bibir gunting tak mengenai langsung ke muka Tini karena terhalang oleh kepalan tangan pelaku.

Lantas, pelaku mulai menikam-nikamkan gunting itu ke arah wajah Tini sambil tangan satunya lagi mencekik leher Tini. Beruntung kala itu, keponakan Tini datang melerai dan Tini pun diamankan oleh keluarganya.

Namun, kelakuan suaminya tetap saja tak berubah dan terus mengganggu Tini. Merasa semakin tidak aman akhirnya Tini meminta pendampingan kepada Yayasan Sapa Institute.

Bersama anak bungsunya berusia 11 tahun, Tini nekat pergi dari kampungnya sekitar pukul 02.00 WIB, dini hari. Ia meminta agar bisa tinggal sementara di rumah aman Yayasan Sapa, sambil mengurus proses perceraian.

"Kalau nggak dibantu Sapa, saya mikirnya waktu itu mau tinggal aja terus di Polsek," bebernya.

Wajahnya sempat berkaca-kaca, sejurus kemudian air mata pun meleleh membasahi pipinya. Kedua tangannya spontan mengambil bagian kerudung yang ia kenakan dan menyeka bagian pipinya yang kuyup digenangi air mata.

Ia mengenang kejadian buruk yang pernah dialaminya. Seketika, Sugih Hartini—pendamping dari Yayasan Sapa—yang duduk tepat di samping Tini, memeluknya dan mengusap-ngusap lengan Tini.

Lebih jauh, Sugih menceritakan perjuangan Tini menjalani proses persidangan cerainya. Persidangan tidak berjalan mulus. Dua kali sidang berujung dengan hasil mengecewakan alias berujung mediasi lantaran pelaku enggan menceraikan Tini.

Pada persidangan ketiga, ucap Sugih, selain didampingi Yayasan Sapa, Tini didampingi pula oleh LBH Tohaga. Alhasil, Pengadilan Agama Kabupaten Bandung pun mengabulkan gugatan cerai Tini.

"Sebelum resmi bercerai, beberapa kali dilakukan mediasi di desa, tapi ternyata suami si ibu tetap tidak berubah, sampai pihak Desa juga sudah merasa tidak dihargai," kata Sugih.

Kisah Lain Korban KDRT

Tindakan kekerasan pun dialami oleh Indah, 30 tahun—tentunya bukan pula nama sebenarnya. Suaminya kerap kali mengintimidasi hingga melakukan pemukulan terhadap Indah.

Kebiasaan buruk suaminya yang kecanduan obat-obatan terlarang, seringkali berujung pada tindakan kekerasan yang diterima Indah di depan anak-anaknya.

ILUSTRASI KDRT. Maryati (21) korban penganiayan oleh suaminya sendiri, saat ini kondisinya membaik (foto : Abdul Rohman/ Suarajabar.id)

Selain itu, efek pandemi yang membuat usaha suami anjlok membuat kehidupannya semakin kacau. Indah tinggal di rumah mertuanya. Suami dan mertuanya menjalankan usaha berupa menyuplai kaus kaki di sekitaran Bandung Raya.
Saat keuangan semakin menipis, efek candu obat-obatan tidak ikut menipis malah justru menebal, masalah pun terus menerus terjadi.

Indah sempat diusir oleh suaminya, dan diceraikan hingga buku nikahnya sengaja dibakar oleh suami. Ia dan kedua anaknya pun meminta perlindungan kepada P2TP2A Kabupaten Bandung dan tinggal di shelter milik P2TP2A.

Namun, sekitar dua pekan kemudian, suaminya datang memohon-mohon untuk rujuk dan berjanji tak akan mengulangi kejadian yang sama. Indah pun memilih untuk rujuk dan pulang ikut suaminya.

Pertimbangan Indah kala itu karena alasan anak sehingga dia memilih untuk mempertahankan rumah tangganya.

"Waktu itu kami pulang malam hari, baru juga dua jam sampai di rumah, dia (pelaku) mulai kembali marah-marah dan tak bisa mengendalikan diri. Akhirnya saya bulat memutuskan untuk pergi," ungkapnya.

Indah bersama kedua anaknya kini tinggal sementara di rumah aman Yayasan Sapa, dan berencana untuk pulang ke rumah orang tuanya di Sulawesi.

Indah bercerita sebelum pandemi, memang sempat mendapatkan kekerasan fisik ataupun psikis dari suaminya. Namun, selalu berakhir dengan proses mediasi. Saat pandemi, lain cerita, di mana Indah lebih sering mendapatkan perlakuan semena-mena dari suaminya dan akhirnya memutuskan untuk lepas dari cengkraman suaminya.

"Rata-rata kasus KDRT ini pasti pelaku merusak sampai membakar surat nikah, masalahnya kemudian ketika mau lanjut ke sidang perceraian, kan jadi lebih ribet. Untuk kasus ibu ini (Indah) berdasarkan hasil asesmen, kita memutuskan untuk memulangkan ke orang tuanya dulu, masalah perceraiannya diurus-urus setelah korban pulang, karena prioritasnya kan keamanan korban," tambah Sugih.

Sugih melanjutkan, dalam menangani korban kekerasan, pendamping dari Yayasan Sapa biasanya terlebih dahulu melakukan asesmen. Pendamping akan mengorek informasi dari korban melalui sistem konseling. Setelah mendapatkan informasi yang cukup, kemudian pendamping akan memutuskan mengambil langkah penanganan yang paling tepat untuk korban.

“Misalkan, kebutuhan apa yang paling mendesak untuk korban, apakah masalah hukumnya, keamanannya atau konseling,” ungkapnya.

Dalam menangani korban, durasi waktu tidak bisa ditentukan. Terkadang ada korban yang membutuhkan waktu sebentar untuk menyelesaikan masalah kekerasan yang dialaminya. Namun, adapula korban yang membutuhkan waktu lama bahkan sampai bertahun-tahun untuk dinyatakan pulih atau kasusnya selesai.

“Kami itu sifatnya hanya memberi saran, memberi pilihan untuk korban. Nantinya, tetap korban yang membuat keputusan apakah kasusnya mau lanjut sampai ke hukum, mediasi atau hanya sebatas konseling saja, kita dampingi,” katanya.

Menurutnya setiap kasus meskipun jenisnya sama tapi penanganan pasti berbeda. Semisal, kata dia, ada korban KDRT yang ditangani oleh Yayasan Sapa sampai bertahun-tahun dan ujungnya korban sampai meninggal dunia karena tidak bisa keluar dari lingkaran kekerasan.

Potret muram itu bisa dialami oleh korban KDRT, lantaran mereka dihadapkan pada pilihan sulit.

“Korban tidak bisa keluar dari lingkaran kekerasan, kami memberikan pilihan-pilihan pun tetap korban tidak bisa memilih saran kami dan malah memilih tetap tinggal dengan pelaku. Alhasil, korban jatuh sakit dan sampai meninggal dunia,” tukasnya.

Makanya, dukungan keluarga sangat penting sekali dalam menyelesaikan masalah kekerasan yang dialami korban. Misalkan, Sugih mencontohkan saat korban merasa ketakutan karena trauma akibat tindakan kekerasan yang dilakukan pelaku, maka dukungan keluarga akan sangat membantu korban bisa merasa lebih aman.

“Sangat penting sekali dukungan keluarga itu, baik saat penanganan ataupun sesudahnya,” jelasnya.

Catatan Redaksi:

Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kontributor : Aminuddin

Load More