Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Jum'at, 21 Agustus 2020 | 01:05 WIB
Penarik kuda di seputaran jalan Ganesha Bandung yang sepi penumpang. (Suara.com/Emi)

SuaraJabar.id - Meski musim liburan tidak semua tempat wisata dan hiburan kebanjiran pengunjung. Hal itu dirasakan betul oleh penarik kuda di seputaran jalan Ganesha Bandung yang sepi penumpang.

Di masa Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), sektor wisata mulai kembali dibuka demi pemulihan ekonomi.

Hari sudah semakin sore, tampak Yuyu (35) dengan semangat dan napas sedikit terengah baru selesai menurunkan penumpang ke duanya ketika ditemui SuaraJabar.id. Saat ditemui, Yuyu tak pakai masker padahal lagi pandemi corona.

Sudah sejak pagi pukul 09.00 WIB hingga pukul 16.10 WIB ia baru berhasil menarik dua penumpang.

Baca Juga: Duh Anak Buah Anies Tak Kompak soal Bioskop Sudah Boleh Buka

Musim liburan kali ini begitu sepi.

“Baru dua putaran dari pagi, sepi penumpang,” ungkapnya ke SuaraJabar.id, ketika ditemui di lokasi, Kamis (20/8/2020).

Tak bisa mengeluh, Yuyu hanya bisa pasrah. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus terjadi, tidak banyak hal yang bisa dilakukan. Ia harus terus bertahan untuk menghidupi anak dan istrinya.

Sudah hampir 10 tahun, ayah tiga anak itu bekerja menjual jasa penarikan kuda di seputaran kampus Institut Teknologi Bandung (ITB).

Usaha ini juga tidak setiap hari dilakoninya, ia hanya bisa menarik ketika hari libur. Pada hari biasa, ia hanya bisa berdiam diri di rumah.

Baca Juga: Wali Kota Lubuklinggau Prana Putra Sohe Positif Corona

“Kalau libur aja ke sini, kalau tidak libur, diam di rumah, karena kalau hari biasa tidak ada penumpang,” ungkapnya.

Warga asli Lembang, Kabupaten Bandung Barat ini mengeluhkan sulitnya penghasilan di masa pandemi. Ia hanya menggantungkan hidup pada usaha penarikan kuda ini.

“Penghasilan susah, cuman berharap dari sini, tidak ada yang lain,” katanya.

Di awal pandemi, Yuyu sempat harus berdiam diri di rumah, selama empat bulan sejak April 2020 hingga Juli 2020. Ia bertahan hanya dengan mengutang kepada tetangga.

Ia sempat mendapat bantuan sembako, sekali dari pemerintah. Namun, hal itu tentu saja tidak cukup.

“Selama corona tidak bisa kemana-kemana, bawa kuda tidak bisa, tidak ada. Tida bisa pekerjaan yang lain,” ungkapnya.

“Anak dua masih sekolah, satunya baru beres SMA, cari uang susah tidak ada, untuk makan anak-anak,” lanjutnya menambahkan.

Untuk sekali narik, setiap penumpang harganya berkisar Rp 25 ribu hingga Rp 40 ribu bagi dewasa. Terkadang, sama sekali sepi.

“Kadang-kadang tidak ada sama sekali, kadang tidak dapat uang, tidak bisa bawa pulang,” ungkapnya.

Ia pernah dibantu sang istri bekerja jualan gorengan untuk menambah penghasilan, namun terhenti. Dagangan tidak laku.

Kontributor : Emi La Palau

Load More