Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Senin, 30 November 2020 | 10:58 WIB
ILUSTRASI. Korban KDRT di Indrmayu. (foto : Abdul Rohman/ Suarajabar.id)

Teknis pengumpulan data dilakukan secara daring dengan jumlah responden sebanyak 2.285 orang yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia. Suara.com mendapat salinan hasil survei itu dari Yayasan Sapa.

Hasil survei itu salah satunya menyimpulkan perempuan menjadi kelompok paling rentan yang mendapatkan KDRT semasa pandemi, dibandingkan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan peran gender yang disematkan kepada perempuan seperti pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab terbesar dan dibebankan kepada perempuan.

Sejak pandemi, ada sebanyak 10,3 persen responden mengaku hubungan mereka dengan pasangan semakin tegang, di mana responden yang mempunyai status menikah lebih rentan daripada yang tidak menikah.

Selain itu, adanya keterkaitan antara penghasilan ekonomi responden dengan tingkat keharmonisan rumah tangga semasa pandemi, di mana responden yang memiliki penghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan menyatakan hubungan dengan pasangan lebih tegang semasa pandemi.

Baca Juga: Bertahan di Tengah Pandemi dengan Bisnis Lukis Sepatu

Kekerasan terjadi terhadap responden yang memiliki pengeluaran bertambah dan mempunyai penghasilan di bawah Rp 5 juta. Sebanyak 80 persen responden menyatakan sering mendapat kekerasan. Artinya faktor ekonomi menjadi salah satu pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan.


Solusi untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan

Selain memberikan pelayanan pendampingan terhadap korban kekerasan, Yayasan Sapa pun melakukan berbagai program untuk menekan jumlah kekerasan yang dialami perempuan.

Dindin mengatakan pemahaman akan isu-isu perempuan memainkan peranan penting di masyarakat untuk menghilangkan budaya kekerasan. Makanya, kata dia, Yayasan Sapa membentuk simpul komunitas yang rutin mensosialisasikan pemahaman tentang isu-isu perempuan.

“Kami lakukan pendidikan publik kepada masyarakat tentang isu-isu perempuan, salah satunya kekerasan. Itu agar masyarakat paham terkait isu-isu perempuan,” katanya.

Baca Juga: Kreativitas Bisnis Lukis Sepatu Bertahan di Tengah Pandemi

“Kami punya komunitas, jadi pendidikan publik itu dilakukan komunitas seperti pertemuan rutin, sosialisasi di masyarakat, ada kader PKK, pengajian, hingga balai istri. Di awalnya komunitas itu kita kuatkan dulu dari sisi pemahaman dan sisi keterampilan, setelah kuat mereka mulai bergerak sendiri dari sisi edukasi di masyarakat,” tambahnya.

Ia melanjutkan, Yayasan Sapa pun melakukan pengawalan kebijakan yang dijadikan sebagai payung hukum kegiatan yang terfokus untuk isu-isu perempuan.

Di antaranya, Yayasan Sapa rutin mendorong agar pemerintah di tingkat lokal dari tingkat desa hingga Kabupaten membuat peraturan daerah terkait perlindungan perempuan.

”Di tingkat nasional yang kita usung sekarang itu RUU tentang penghapusan kekerasan seksual (PKS). Yang kita kawal bukan dari sisi kebijakannya saja tapi dari sisi pemahaman. Ini menjadi sangat penting supaya nanti yang dikeluarkan pemerintah memang berdasarkan pemahaman masyarakat tentang isu-isu perempuan,” imbuhnya.

Menurutnya, pengesahan RUU PKS ini sangat penting guna menghapuskan tindakan kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual dan KDRT. Beberapa poin yang menjadi sorotan di antaranya tentang kepastian jeratan pidana bagi pelaku yang dikategorikan menjadi tindakan pidana khusus dimana deliknya menjadi pidana tindakan kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

RUU PKS pun mengatur masalah jenis-jenis tindakan kekerasan yang lebih spesifik yang meliputi 9 jenis kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, ekploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, dan pemaksaan pelacuran yang nantinya akan diatur dan dirumuskan pidananya dalam RUU itu.

Load More