Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Kamis, 04 Februari 2021 | 16:55 WIB
Abattoir atau Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang dibangun pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk suplai daging sapi tentara mereka. Saat ini kondisinya cukup memprihatinkan. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]

SuaraJabar.id - Sekilas, bangunan yang terletak di ujung Jalan Sukimun, Kelurahan Baros, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi ini terlihat kumuh dan tidak terurus. Namun di balik itu, ternyata bangunan tersebut pernah memiliki peran vital bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Rumah Pejagalan Hewan (RPH) atau dalam Bahasa Belanda Abattoir itu dibangun pemerintahan Hindia Belanda untuk menopang kebutuhan para tentaranya yang ditugaskan di Kota Cimahi.

Berdasarkan catatan Buku Cagar Budaya 2020 berjudul “CIMAHI CITY as a military tourism” milik Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Cimahi, dari koran berbahasa Belanda, De Preanger Bode pada 11 Januari 1913 menceritakan rencana pendirian rumah jagal di Bandung dan Cimahi.

Perusahaan yang membangunnya adalah Jenne & Co di Batavia. Jenne & Co adalah importer sapi asal Australia. Kemudian dalam Koran Bataviaasch Nieuwsblad terbitan 18 Oktober 1916 menceritakan pembukaan Abattoir Tjimahi.

Baca Juga: Pasutri Diminta Tunda Kehamilan saat Pandemi, Ternyata Ini Penyebabnya

Kapasitas pemotongan hewan mencapai 10 ekor dalam sehari. Hingga kemudian Bataviaasch Nieuwsblad terbitan 1 Juni 1927 memberitakan bahwa Abattoir dibeli oleh Pemerintah Daerah Priangan senilai 25.000 gulden dari NV Handelmaatschapaij Jenne & Co.

Kemudian dari pemberitaan serupa pada 24 Juni 1927, rumah jagal itu diserahkan Pemerintah Daerah Priangan kepada badan usaha milik pemerintah di Kabupaten Bandung. Namun ditahun 1990-an, bangunan bersejarah itu mulai terbengkalai.

Hingga akhirnya sekitar tahun 2000-an, RPH benar-benar tidak berfungsi lagi hingga kini. Dari bagian luar hingga dalamnya samak sekali tidak terurus.

Dinding bagian luar RPH mengelupas sehingga terlihat susunan bata merah di dalamnya. Bangunan ini terdiri atas dua tingkat dan satu lapang untuk menjagal hewan ternak. Lantai atas digunakan untuk keperluan pegawai RPH.

Abattoir atau Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang dibangun pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk suplai daging sapi tentara mereka. Saat ini kondisinya cukup memprihatinkan. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]

Sedangkan lantai bawah digunakan untuk menyimpan sapi dan ternak lainnya. Bagian bawah ini dikunci rapat, walau pintu kayunya keropos termakan zaman.

Baca Juga: PDI Perjuangan Kota Cimahi Dipimpin Tahanan Kasus Korupsi, Ini Kata Kader

Meski begitu, ciri khas bangunannya seperti art-deco masih terlihat hingga kini. RPH pun sudah didaftarkan dan lolos verifikasi sebagai bangunan cagar budaya di Kota Cimahi untuk melestarikan bangunan tersebut.

Harapan RPH aktif lagi pun dilontarkan Uci Sanusi (56), tukang jagal di sekitar Jalan Sukimun. Ia mengaku, RPH merupakan tempat bermainnya sejak keecil hingga terlatih memotong hewan.

“Ini tempat saya main waktu kecil. Harapannya ya diaktifkan lagi,” ujarnya.

Aset RPH kini sudah berada ditangan Pemkot Cimahi, setelah sebelumnya dikuasai Perusahaan Daerah Jati Mandiri (PDJM).

Sebelum aset itu pengelolannya diserahkan kepada PDJM tahun 2011, nilai asetnya masih Rp4.046.500.500.

Setelah aset itu dikembalikan ke Pemkot Cimahi melalui Peraturan Daerah (Perda) Kota Cimahi Nomor 17 Tahun 2018 Perubahan Ketiga atas Perda Kota Cimahi Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyertaan Modal Daerah pada PDJM, nilainya naik 350 persen menjadi Rp14.010.700.000

Total luas aset tanah RPH bersejarah itu mencapai 3.910 meter persegi. Sedangkan khusus rumah bekas pegawainya mencapai 1.020 meter persegi. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]

Load More