SuaraJabar.id - Perkembangan teknologi ternyata juga memiliki dampak kurang baik, terutama bagi perempuan. Kenyataannya, kasus kekrasan seksual berbasis elektronik ternyata naik drastis.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Ia menilai kepastian adanya peraturan lebih baik soal kekerasan seksual berbasis elektronik merupakan hal mendesak.
"Berdasarkan laporan yang ada, kekerasan seksual berbasis elektronik ini meningkat luar biasa drastis," kata Andy Yentriyani dalam acara peluncuran produk Belajar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Siber di Mancanegara di Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Komnas Perempuan menghimpun data selama periode 2017-2021 dan mencatat kenaikan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik sudah mencapai 108 kali lipat. Data tersebut tidak termasuk kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
"Angka-angka tersebut jelas menunjukkan ruang siber kita masih belum menjadi ranah yang aman," kata Andy.
Selain itu, pengaturan yang lebih baik tentang kekerasan seksual berbasis elektronik dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga diperlukan.
Sebab, menurut dia, pengaturan tentang kejahatan atau kekerasan seksual belum mencukupi sebelum lahirnya UU TPKS.
Bahkan, lanjut Andy, keadaannya berpotensi mengkriminalisasi perempuan seperti dalam penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) maupun UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dengan UU TPKS, Komnas Perempuan menilai perlu terus mengembangkan ilmu pengetahuan tentang kekerasan seksual berbasis elektronik.
Baca Juga: Layanan 24 Jam, Warga Bontang yang Jadi Korban KDRT Bisa Hubungi Nomor Ini
Menindaklanjuti langkah-langkah pengembangan pengetahuan sebelumnya, Komnas Perempuan menggali berbagai bentuk kekerasan seksual dari sarana elektronik berdasarkan pengalaman di berbagai negara.
Hal itu meliputi mekanisme pencegahan sampai dengan bentuk-bentuk pemulihan bagi korban.
Untuk tahap awal, Komnas Perempuan memulai studi kasus di enam negara, yaitu Jerman, Korea Selatan, Inggris, India, Australia, dan Filipina.
Pemilihan keenam negara itu didasarkan pada pertimbangan kasus, penanganan kasus, pencegahan kasus, hingga implementasi terhadap korban. ANTARA
Berita Terkait
-
Layanan 24 Jam, Warga Bontang yang Jadi Korban KDRT Bisa Hubungi Nomor Ini
-
Miris, Dua Orang Anak di Depok Kembali Jadi Korban Kekerasan Seksual
-
Dugaan Kekerasan Seksual Terjadi di UNS Solo, Pelaku Diduga Presiden BEM Fakultas hingga Viral di Sosmed
-
LRC KJHAM Jawa Tengah Catat 45 Perempuan Jateng Korban KDRT dalam Dua Tahun Terakhir, Ini Lokasi Terbanyak
-
Komnas Perempuan Minta Polisi Utamakan Pemulihan Korban Kekerasan oleh Polwan di Pekanbaru
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
-
Hasil Drawing Play Off Piala Dunia 2026: Timnas Italia Ditantang Irlandia Utara!
-
Pengungsi Gunung Semeru "Dihantui" Gangguan Kesehatan, Stok Obat Menipis!
-
Menkeu Purbaya Lagi Gacor, Tapi APBN Tekor
Terkini
-
3 Rekomendasi HP Murah Kualitas Bagus untuk Mahasiswa 2025: Spek Dewa, Harga Sahabat Kosan!
-
3 Laboratorium Rahasia Narkotika Beroperasi di Bogor dan Cimahi
-
Geger Penemuan Kerangka Manusia di Irigasi Karawang
-
Ego 3 Kades di Karawang Nyaris Gagalkan Proyek Banjir Vital! Dedi Mulyadi Turun Tangan, Ini Hasilnya
-
Keseimbangan Air di Tengah Industri: Tantangan, Riset, dan Upaya Konservasi