Fosil daun itu sendiri ditemukan di Laguna del Hunco di provinsi Chubut di Argentina. Fosil sama kemudian juga ditemukan di Miosen, Selandia Baru.
Namun sejumlah peniliti meyakini bahwa daun Eucalyptus saat ini merupakan hasil dari fosil yang ditemukan di Miosen, Selandia Baru. Selain di Miosen, fosil pohon ini juga ditemukank di New South Wales, Australia dan diduga berusia 21 juta tahun lalu.
Daun ini sendiri baru dikenal publik saat Joseph Banks dan Daniel Solander tiba di Botany Bay bersama Kapten James Cook pada 1770.
Saat berada di dekat Sungai Endeavour, ketiganya menemukan salah satu spesies yang diyakini masih satu fam dengan Eucalyptus.
Baca Juga:Alasan Ilmiah Mengapa Jenazah Mendiang Eril Masih Utuh Meski Tenggelam di Sungai Selama 14 Hari
Pada 1777, pada ekspedisi ketiganya, Cook bersama David Nelson kembali mengumpulkan daun ini dan membawa spesimen itu ke British Museum di London. Ialah ahli botani asal Prancis, L'Héritier yang kemudian menamai daun oval yang wangi ini dengan sebutan Eucalyptus.
Nama Eucalyptus berasal dari akar kata bahasa Yunani, Eu dan Calyptos yang berarti baik dan tertutup.
Karena daunnya yang begitu wangi, daun Eucalyptus juga kerap dimanfaatkan untuk diseduh bersama teh dan aman untuk dikonsumsi.
Tak hanya itu, daun Eucalyptus yang kering juga bisa dihancurkan, lalu disuling untuk mendapatkan minyak esensial yang saat diekstraksi dan diencerkan dapat digunakan sebagai obat.
Baca Juga:Jasad Eril Tetap Utuh di Sungai Aare, Ridwan Kamil Beri Penjelasan Ilmiah