Scroll untuk membaca artikel
Bangun Santoso
Minggu, 25 Agustus 2019 | 13:42 WIB
Demo buruh di depan DPR menolak revisi UU Ketenagakerjaan. (Suara.com/Novian)

Berikutnya digulirkan kembali pada tahun 2006 yang memicu perlawanan secara massif dari seluruh pekerja dan serikat pekerja di Indonesia. Kemdudia diajukan lagi pada tahun 2010 dan tahun 2012.

"Serta yang paling terakhir dan memanas di kalangan pekerja Indonesia yaitu revisi yang digulirkan pada tahun 2019 ini," ungkap Guntoro.

Ia mengatakan, beberapa kajian telah dilakukan oleh berbagai lembaga untuk mengurai dan menganalisa UU No.13 tahun 2003. Dari sekian banyak hasil kajian tersebut kata dia, terdapat benang merah dan satu kesamaan sebagai garis bawah yang sangat penting.

"Isinya yaitu, UU No.13 tahun 2003 dianggap kurang kompatibel bagi dunia usaha dan iklim investasi serta lupa mempertimbangkan tinjauan dan kepentingan dari sisi perlindungan bagi pekerja. Bahkan justru sebaliknya merugikan kepentingan pekerja (termasuk isu lama besaran pesangon)," beber Guntoro.

Baca Juga: Viral Draft Revisi UU Ketenagakerjaan, Menteri Hanif Dhakiri Angkat Bicara

Menurut Guntoro, sejak rencana revisi UU No.13 tahun 2003 digulirkan sampai dengan saat ini pasal-pasal diajukan untuk diubah dan yang menjadi perhatian dan kekahawatiran masih seputar pelaksanaan penyerahaan pekerjaan melalui skema outsourching yang lebih liberal.

"Kontrak (PKWT) yang diperluas cakupan jenis pekerjaan serta jangka waktunya diperpanjang, nilai pesangon yang dibuat lebih kecil, pesangon tidak diberikan pada pekerja yang upahnya diatas PTKP, mekanisme upah diserahkan kepada pasar, dihilangkan minimum sektoral, peninjauan upah dilakukan dua tahun sekali, ketentuan tentang mogok kerja yang sangat ketat merugikan pekerja, penghapusan cuti haid dan fasilitas kesejahteraan," ujar dia.

Kontributor : Mochamad Yacub Ardiansyah

Load More