Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Selasa, 08 September 2020 | 00:20 WIB
Aliansi Muda Untuk Munir (Amuk Munir) melakukan aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (2/11).

SuaraJabar.id - Senin, 6 September 2004 Munir Said Thalib sekira pukul 21.55 WIB, Munir Said Thalib bertolak dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda menggunakan Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-974. Namun, dua jam sebelum tiba di Amsterdam, Munir menghembuskan nafas terakhirnya.

Aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) ini tutup usia pada 08.10 waktu setempat, Selasa 7 September 2004. Munir meninggal dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam.

Tak lama berselang, kabar kematian Munir sampai ke Indonesia. Berita kematiannya ramai diberitakan media nasional maupun media asing. Maklum, beberapa kasus pelanggaran HAM yang ia tangani masuk kategori berat.

Suami Suciawati ini pernah melawan Komando Daerah Militer V Brawijaya untuk memperjuangkan kasus kematian Marsinah, aktivis buruh PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan mati. Ia juga terlibat penyidikan kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di medio 1997-1998.

Baca Juga: Peringati 15 Tahun Kasus Munir, Potret Motor Ini Sedot Perhatian Warganet

Kabar kematian Munir mengagetkan Sutanandika, rekan kerja Munir di Imparsial saat itu.

Pria yang akrap disapa Sutan ini memiliki cerita tersendiri dengan Munir. Sebelum bekerja bersama Munir di Imparsial, Sutan pertama kali bertemu Munir di kampusnya di bilangan Bandung Utara pada medio 1997-1998.

Aktivis mahasiswa di Bandung telah mengenal sosok Munir melalui tulisan-tulisannya. Sutan kemudian ingin mendekatkan kawan-kawannya dengan Munir dengan mengundang Munir sebagai pembicara diskusi.

Kala itu, Munir bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dan ngepos di Malang. Ia tak menyangka Cak Munir mau hadir ke Bandung untuk sekedar mengisi diskusi kelompok aktivis mahasiswa.

“Saya mengenal sosok Munir dengan beberap proses karena waktu itu saya masih mahasiswa di Bandung, itu menjadi inspirasi bagi teman-teman gerakan di Jabar,” kata Sutan kepada SuaraJabar.id melalui sambungan telepon, Senin (7/9/2020).

Baca Juga: Menolak Lupa, LBH Surabaya Sindir Janji Jokowi Tuntaskan Kasus Munir

Sepanjang bekerja bersama Munir, Sutan menilai ada satu hal yang cukup menjadi sorotan Munir. Sebuah hal yang tidak banyak orang berani melakukannya di masa itu, melawan TNI dan Polri melaui kritik keras.

“Karena ciri dari perjuangan reformasi adalah mengembalikkan Polisi dan TNI pada tupoksi utama, nah itu menggelora dan menjadi komitmen Munir juga,” kenang Sutan yang kini aktif di Pakwan Institute.


Jejak Munir di Tanah Pasundan

Jejak Munir di tanah Pasundan tertoreh pada tiga aspek, pendidikan, buruh dan pertanian. Sosok Munir cukup memberikan kontribusi pada pendidikan kritis bagi buruh, tani, pemuda dan mahasiswa melalui tulisan-tulisannya. Bahkan Sutan merasa tulisan-tulisan Munir lebih agitatif dibanting tulisan Tan Malaka.

“Itu yang mewarnai teman-teman di Bandung, termasuk juga kalau di Bandung itu advokasinya lebih kepada pendikan, buruh, dan pertanian,” katanya.

Ketika itu, masa orde baru, media-media banyak yang dibredel, tulisan-tulisan yang sifatnya edukasi dan kritis sangat sulit ditemukan. Yang tumbuh subur percetakan yang partikelir yang memuat tulisan-tulisan yang kritis salah satunya tulisan Munir.

Dalam lini pertanian, Munir juga ternyata turut memberikan kontribusi edukasi kepada pelatihan Serikat Petani Pasundan (SPP) salah satu organisasi yang didirikan untuk memperjuangkan hak-hak para petani di Priangan Timur. Serikat ini merupakan serikat petani terbesar di Priangan Timur.

“Fokusnya di Priangan Timur, Garut, Tasik, Bandung sendiri, kalau buruh Bandung karena banyaknya  industri dan pendidikan di kampus,” terangnya.

“SPP itu sebagai satu contoh organisasi gerakan petani yang sangat besar di Priangan Timur, Munir turut membantu edukasi, di beberapa kegiatan dia datang untuk pelatihan, baik secara terang-terangan maupun tidak. Karena kalau orang seperti Munir biasanya di advokasi, setiap gerakan pasti membutuhkan advokasi,” tambahnya.

Karena kalau pertanian itu tidak jauh dengan konflik agrarian kata Sutan, terbagi beberapa hal masalah pertanian, Munir selalu yang berkaitan denga militer karena sebagian tanah itu pasti yang masih terjdi berkonflik dengan militer. Antara klaim antara warga dan aparat, warga dengan pemilik HGU yang ada penggunaan aparat, preman, menurutnya itu yang menjadi fokus perhatian Munir.

“Karena selama ini penggusuran menggunakan oknum, kenapa bisa seperti itu, preman oknum militer yang terlibat Munir melihat itu persoalan kesejahteraan,” katanya.

Meski pendampingan Munir di Tanah Priangan hanya pada pendampingan secara intelektual, namun tentu hal itu sangat bermanfaat bagi pergerakan. Dari diskusi ke diskusi, tulisan dan selebaran hingga edukasi.

Hingga kini, Munir dikenang sebagai sosok yang memiliki komitmen yang kuat, tidak mudah untuk digoyah oleh pihak-pihak dan oknum untuk melemahkan dirinya. Ia tetap gigih memperjuangkan hak asasi manusia.

Kontributor : Emi La Palau

Load More