Ari Syahril Ramadhan
Senin, 30 November 2020 | 10:58 WIB
ILUSTRASI. Korban KDRT di Indrmayu. (foto : Abdul Rohman/ Suarajabar.id)
Mimin saksi KDRT istri bacok suami di Cikidang Sukabumi memperlihatkan luka dijari tangannya. (Sukabumiupdate.com/Ruslan AG).

Selain itu, RUU PKS pun mengakomodasi masalah pencegahan kekerasan seksual dan mengatur pula terkait perlindungan, hak saksi dan korban juga pemulihan korban.

Makanya, Yayasan Sapa menggarap agenda rutin menggandeng organisasi masyarakat yang menolak RUU PKS. Dindin mengaku sangat penting upaya sosialisasi terhadap masyarakat yang notabene acuh terhadap RUU PKS.

“Kami ajak diskusi mereka karena selama ini kami menduga ada semacam mispersepsi tentang RUU itu di kalangan ormas Islam yang dalam tanda kutip menolak atau misalkan menolak sebagian,” tukasnya.

Terkini, nasib RUU PKS direncanakan untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2021, nanti. Sebelumnya RUU itu keluar dari Prolegnas prioritas 2020, karena beberapa alasan yang disodorkan politikus Senayan semisal kebingungan membuat judul hingga bentrok dengan finalisasi KUHP.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pelayanan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung Yadi Setiadi mengatakan pihaknya pun baru saja menetapkan Peraturan Bupati (Perbup) nomor 120 Tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Perbup itu salah satunya dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah Kabupaten Bandung untuk mengatasi masalah KDRT.

“Bulan November (2020) kemarin baru keluar, sudah diteken pak Bupati (Dadang Naser),” bebernya.

Meski begitu, kendala yang dihadapi dan masih menjadi pekerjaan rumah Yayasan Sapa, yakni adanya semacam kemerosotan pemahaman di tingkat pemerintah lokal. Saat pemahaman masyarakat meningkat, justru pihak pemerintah lokal masih menganggap kasus kekerasan sebagai aib.

“Kadang dukungan dari pemerintah masih sangat dirasakan kurang mungkin ini terkait dengan citra dari pemerintah. Kadang dari pemerintah di tingkat lokal RW atau Desa bukannya mereka mendukung korban untuk melapor justru menutup-nutupi karena anggapannya terkait dengan citra yang akan buruk,” katanya.

Pemerintah pun terkadang tidak maksimal dalam memberikan pelayanan terhadap korban kekerasan. Misalnya dalam memfasilitasi tempat tinggal sementara korban yang dibatasi sampai 21 hari saja. Setelah masa itu habis, beres atau tidak beres korban terpaksa harus meninggalkan shelter yang disediakan pemerintah dalam hal ini P2TP2A.

Baca Juga: Bertahan di Tengah Pandemi dengan Bisnis Lukis Sepatu

“Makanya terkadang kami ambil alih lagi penanganan korban dan itu membutuhkan biaya yang cukup besar semisal pengadaan rumah aman ataupun shelter,” kata dia.

Menanggapi hal ini, Yadi mengatakan pembatasan fasilitas itu memang sudah sesuai prosedur standar yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, kalau memang sangat mendesak sebetulnya korban bisa lebih lama tinggal di shelter DP2KBP3A.

“Itu kan emang semua shelternya ada batasannya karena kan biaya juga kan kita maksimalkan pelayanan seperti layanan psikolog, pendampingan jadi itu bisa dimaksimalkan. Kalau misalkan diperlukan bisa nambah tapi kalau sampai berbulan-bulan mah agak repot juga karena kan kasus masuk ada yang lain juga,” ucapnya.

Yayasan Sapa sendiri saat ini masih belum memiliki shelter atau rumah aman sendiri. Untuk menampung korban, biasanya Yayasan Sapa menyewa rumah yang nantinya dijadikan sebagai shelter atau rumah aman. Sementara, Pemerintah Kabuapaten Bandung memiliki shelter sebanyak 5 kamar.

Selain itu, di kala pandemi, pendampingan pun mendapat kendala yang cukup besar. Pendamping diharuskan mengikuti protokol kesehatan dalam melakukan pendampingan langsung terhadap korban, semisal melengkapi diri dengan APD dan yang lainnya. Pendamping pun berisiko lebih besar untuk tertular virus Corona.

“Kendala lain intensitas kita untuk berkomunikasi dengan korban kan sangat terbatas saat ini. Terus pendalaman akan sangat berbeda sekali asesmen dari daring dibanding dengan tatap muka langsung. Kita kalau tatap muka kan dari wajah saja kita bisa ketauan tapi kalau online kan kurang,” ucapnya.

Load More