Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Sabtu, 23 Januari 2021 | 13:56 WIB
Erwin Hardiansyah, 38 tahun, tengah menyangrai kopi di Palasari Coffee Roastery, Jalan Cipamokolan, Bandung, Jumat (22/1/2021). [Suara.com/Aminuddin]

SuaraJabar.id - Deru mesin roasting terdengar bising di telinga saat Suara.com berkunjung ke Palasari Coffee Roastery di Jalan Cipamokolan, Kota Bandung, Jumat (22/1/2021).

Erwin Hardiansyah, 38 tahun, sesekali memutar pipa trier untuk mengecek tingkat kematangan biji kopi yang sedang disangrai.

Erwin merupakan pemilik sekaligus tukang sangrai kopi di Palasari Coffee Roastery.

Deru mesin roasting menjadi penanda berkah bagi tukang sangrai. Saat mesin sangrai beroperasi, sudah barang tentu ada konsumen yang datang untuk menyangrai biji hijau kopi alias green beans.

Baca Juga: Tok! PSBB Kota Bandung Diperpanjang hingga 8 Februari 2021

Di tengah pandemi Covid-19, tidak mudah bagi Erwin untuk tetap bertahan membuka usaha jasa sangrai kopi. Pasalnya, kata dia, peminat kopi cenderung menurun akhir-akhir ini.

"Ya mungkin terkena imbas pandemi juga, kedai kopi banyak yang tutup juga," ujar Erwin kepada Suara.com, Jumat (22/1/2021).

Omset roastery milik Erwin pun cenderung turun drastis. Ia mengaku penghasilannya dari jasa sangrai kopi menurun hingga 50 persen bila dibandingkan sebelum adanya pandemi.

Biasanya, Erwin menyangrai kopi sebanyak 60 kilogram per hari. Namun, di kala pandemi, ia rata-rata hanya menyangrai kopi di kisaran 20 kilogram saja per hari.

Di Palasari Coffee Roastery, jasa untuk tiap kilogram kopi yang disangrai dibandrol dengan harga Rp 30 ribu.

Baca Juga: Kota Bandung Dukung Perpanjangan PPKM, Warganet Ngamuk!

"Terjun bebas lah, sekarang sehari dapat 20 kilogram juga udah untung," tukasnya.

ILUSTRASI biji kopi.

Adapun konsumen yang kerap kali datang ke Palasari Coffee Roastery, rata-rata merupakan pemilik kedai kopi di area Bandung. Namun, adapula pengecer kopi sangrai yang berlangganan untuk menyangrai kopinya di sana.

Seluk beluk kopi memang tak asing bagi Erwin. Ia sudah memulai berkecimpung dalam dunia kopi sejak 2014, silam. Kala itu, Erwin terjun langsung di sektor hulu perkopian.

Ia memiliki kebun kopi seluas 2 hektar di daerah Palintang, kaki bukit Gunung Manglayang. Di lahan seluas itu, Erwin menanam kopi sebanyak 1.000 pohon.

Erwin bersama rekan-rekannya sesama petani kopi menggarap lahan itu hingga proses pasca panen. Kemudian selang setahun berikutnya, Erwin mulai membuka jasa sangrai kopi.

Ia bercerita, di kala pandemi cukup kesulitan dalam mengeluarkan hasil panen kopinya. Selain menjual kopi sangrai, Erwin pun biasanya menjual green coffee beans.

"Ya sama aja, sekarang mah susah ngeluarin barang. Bahkan ada teman saya yang berjualan GB (green coffee beans) kelimpungan karena barang susah keluar," ujarnya.

Syarif Hidayatullah, 26 tahun, salah satu penjual eceran kopi sangrai juga green beans, merasakan hal yang sama. Syarif mengaku penjualannya menurun drastis saat adanya pandemi.

"Sekarang mah kejual roastbeans 5 kilogram per bulan juga susah," bebernya.

Syarif biasanya menjual kopi asal Bandung Selatan, semisal kopi daerah Gambung dan Pangalengan. Biasanya, Syarif menjual kopi sangrai ke kedai-kedai kopi yang ada di daerah Bandung.

Namun, saat adanya pandemi, Syarif mulai memutar otak dan mencari solusi agar usaha yang dirintisnya tetap bertahan.

Alhasil, dia pun menyiasati dengan mencari pembeli yang notabene berasal dari luar kota.

"Alhamdulillah sebulan bisa menjual greenbeans rata-rata 30 kg, itu konsumennya luar kota," tukasnya.

Ilustrasi coffee shop. [Shutterstock]

Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat, Hendy Jatnika mengatakan keluhan petani kopi di wilayah Jawa Barat memang rata-rata sama. Yakni, sulitnya mengeluarkan hasil panen karena daya beli menurun.

"Penjualan kopi kalau dulu mudah, penjualan sekali panen, dijemur petani langsung habis terjual, kalau sekarang petani itu penjualannya agak lama tersendat," katanya.

"Itu bukan tidak terjual tapi prosesnya lama dan harganya turun. Itu memang di semua sektor seperti itu," tambahnya.

Makanya, Hendy mengatakan memang harus ada terobosan agar petani bisa lebih kreatif juga inovatif di saat pandemi seperti sekarang ini.

"Memang harus ada terobosan juga dari pihak kelompok tani dari berbagai pihak juga termasuk kami. Tapi memang penjualan menurun karena kafe-kafe juga banyak yang tutup. Kita masih harus berjuang berbagai cara agar petani bisa menjual produknya," ungkapnya.

Load More