Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Selasa, 16 Februari 2021 | 11:57 WIB
Ketua APTI Jawa Barat, Suryana menjelaskan varietas tembakau kepada wartawan di perkebunan tembakau di Kabupaten Bandung. [Suara.com/Ari Syahril Ramadhan]

SuaraJabar.id - Tiga lempeng tembakau memenuhi bagian besar punggung meja ruang tamu kediaman Rizky Hanif Ibrahim, 28 tahun, saat suara.com berkunjung ke kediamannya di Tanjungsari, Sumedang baru-baru ini. Satu lempengan tembakau berukuran sebesar kertas HVS.

"Ini ada tembakau Darmawangi, Bantarujeg dan tembakau dari Beringin Jawa Timur," ucap Rizki.

Sejurus kemudian, tangan kiri Rizky memegang selembar kertas papir lantas tangan kanannya mengambil salah satu tembakau itu. Prosesi linting tembakau pun dilakukan, dan tembakau iris itu siap untuk dihisap.

Korek api dinyalakan, lalu membakar ujung lintingan, Rizky pun menghisap lintingan itu dari ujung lainnya, lantas asap pun mengepul dan semerbak wangi khas tembakau iris pun tercium.

Baca Juga: Penyerapan Beras Petani di Lampung Capai 65 Ribu Ton di 2020

Rizky menjelaskan cukup detail tentang perbedaan rasa ketiga tembakau itu. Tembakau Darmawangi, kata dia, memiliki fisik rajangan sangat tipis. Urusan rasa, ucap dia, tembakau asal Darmawangi, Sumedang, memiliki rasa yang lembut, manis dan wangi yang semerbak.

"Kalau Darmawangi memang paling mahal, dan rasanya mantap. Tapi kami disini mencampur berbagai tembakau mulai dari Darmawangi, Bantarujeg, sampai tembakau Jatim ataupun Lombok," bebernya.

Rizky merupakan salah satu penjual tembakau di Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Ia bersama adiknya, Riyo Fajar Ismail, 24 tahun, bahu membahu meneruskan usaha yang dirintis ayahnya berjualan tembakau.

Di bagian samping rumahnya, terdapat gudang tembakau sekaligus pabrik pengolahan tembakau. Lempengan tembakau terlihat menumpuk di dalam gudang itu.

Beberapa ibu-ibu tampak sibuk menempelkan pita cukai ke bagian kemasan tembakau iris. Sebagian ibu-ibu lainnya terlihat khusuk menimbang tembakau lantas memasukan ke dalam kemasan beraneka ukuran antara 35 gram hingga 50 gram.

Baca Juga: Mulai Panen, Petani Bawang Merah di Ria-Ria Apresiasi Program Food Estate

Buruh perempuan sedang mengemas tembakau iris di pabrik PR. Giri Kedaton, Tanjungsari, Sumedang. [Suara.com/Aminuddin]

Rizky mengatakan biasanya pegawai yang bekerja di pabrik tembakau miliknya di kisaran 5 sampai 10 orang tiap hari. Namun, kalau sedang ramai, ibu-ibu ataupun bapak-bapak yang bekerja disana bisa mencapai 15 orang per hari.

"Sistemnya borongan untuk buruh perempuan, kalau laki-laki nggak borongan, kita kasih upah Rp 50 ribu per hari, itu bersih, udah dikasih makan dua kali sama rokok," jelasnya.

Upah bagi buruh perempuan yang bekerja di sana, dihargai sebesar Rp 1.500 saat mengemas satu pak tembakau berisi 20 bungkus. Sehari, kata dia, rata-rata buruh perempuan bisa mendapat upah sebesar Rp 65 ribu.

Rizky bercerita, semenjak adanya pandemi Covid-19, penjualan tembakau irisnya meningkat sampai tiga kali lipat. Biasanya, ia hanya mampu menjual tembakau iris yang sudah dikemas dan dikasih pita cukai sebanyak satu ton per bulan.

"Kalau produksi sih semenjak ada pandemi terus setelah ada kenaikan pajak (rokok), jadi tiga kali lipat. Kalau biasa sebelum ada pandemi kita produksi hanya 1 ton, setelah pandemi dan ada kenaikan rokok jadi 3 ton per bulan," bebernya.

"Sampai ada konsumen dari Tulungagung datang ke rumah. biasanya ngirim dipaketin, ek kemarin datang ke rumah. Dia tau alamat sini, dia nyamperin ke rumah sampai ambil barang," timpal Riyo.

Urusan pemasaran, Rizky mengaku sudah punya langganan di beberapa kota besar di Indonesia dari mulai Sumatra, Jawa, Sulawesi hingga Maluku.

"Pasar sih domain kita ke luar pulau, kita ya ke wilayah transmigrasi, dengan ciri ada pertambangan, perkembunannya, setelah itu kita ke pesisir kalau untuk lokal seperti di Jabar, Jateng. Kalau di perkotaan kita tetap kalah sama rokok biasa," cetusnya.

Perlu digarisbawahi, kata dia, untuk pasar tembakau linting memang kurang bagus saat dipasarkan ke kawasan perkotaan dengan pendapatan mayoritas warga di atas rata-rata. Segmentasi penikmat tembakau linting biasanya mayoritas dari kalangan masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.

Setali tiga uang dengan Rizky, Nedi Sopian, 43 tahun, mengalami hal yang sama dimana ia keteteran memenuhi permintaan pasar untuk penjualan tembakau iris. Nedi merupakan pemilik salah satu brand tembakau iris Paperka.

Nedi mengaku omzet penjualannya meningkat sampai 300 persen saat pandemi. Nedi biasanya memproduksi tembakau iris per hari di kisaran 300 sampai 500 bungkus per hari. Namun, sejak pandemi produksinya meningkat sampai 3 kali lipat.

"Ya saya juga pas pandemi awal ketika Corona ini datang ya naik lah 200 sampai 300 persen," ungkapnya.

"Ya mungkin karena trend 'ngadu bako' (melinting tembakau) kini lebih populer dan harga lebih terjangkau bila dibanding rokok batangan," tambah Nedi.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat, Suryana mengatakan pandemi ibarat berkah bagi pegiat tembakau. Dari mulai petani hingga sektor hilir tembakau mendapat keuntungan lebih saat diterjang pandemi.

Hal ini berbeda dengan sektor bisnis lain yang cenderung lesu disapu pandemi, stakeholder tembakau cenderung sebaliknya. Sektor tembakau justru lebih bergairah saat pageblug datang.

Bahkan, Suryana mengatakan tembakau asal Jawa Barat cepat ludes diburu konsumen. Efeknya, konsumen lain yang masih membutuhkan tembakau Jawa Barat tidak kebagian lantaran stok sudah habis.

"Di saat pandemi ini, bukan kami diuntungkan, tapi ada hikmah dari pandemi ini. Jadi tembakau Jawa Barat ini menjadi kekurangan sekali untuk 2020 sampai sekarang," tukasnya.

selain efek pandemi, kata dia, kenaikan cukai rokok menjadi penyebab pasar tembakau iris ramai. Pasalnya, saat cukai rokok naik hingga di angka 12 persen, hal itu tidak berlaku bagi cukai tembakau iris sigaret (TIS).

"Alhamdulillah 2 kali berturut-turut cukai tidak naik untuk TIS ini, sementara yang lain naik," ucapnya.

Kontributor : Aminuddin

Load More