Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Jum'at, 26 Februari 2021 | 12:28 WIB
ILUSTRASI KDRT. Selama pandemi Covid-19, banyak orang mengalami sindrom cabin fever. Sindrom ini dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian. [Shutterstock]

SuaraJabar.id - Fenomena cabin fever selama pandemi Covid-19 ternyata membawa dampak buruk bagi rumah tangga. Bahkan, disinyalir banyak yang berujung pada perceraian dan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Cabin fever merupakan serangkaian gejala yang dialami seseorang ketika harus bertahan di dalam rumah dalam jangka waktu lama. Seperti kebiasaan yang dijalani sejak Covid-19 mewabah.

Aktivis perempuan, Ni Loh Gusti Madewanti mengatakan, fenomena tersebut membuat orang merasa bosan di rumah sehingga akan timbul emosi, yang pada akhirnya berujung friksi dalam rumah tangga.

"Jadi orang kalau terperangkap dalam waktu yang lama dengan ketakutan virus Covid waktu itu, sangat mudah membuat friksi tertentu di antara lelaki dan perempuan di satu rumah tangga," jelasnya saat dihubungi Suara.com, Kamis (25/2/2021).

Baca Juga: Perceraiannya Dituduh Settingan, Rachel Vennya: Semoga Bisa Bikin Seneng

Anti, sapaan Ni Loh Gusti Madewanti menjabarkan, sejak pandemi Covid-19 ini akses istri dan suami menjadi sangat terbatas sehingga terpaksa harus diam di rumah saja pada situasi yang tidak menentu.

Kondisi diperparah dengan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dirumahkan yang membuat suami atau istri kehilangan mata pencaharian. Perekonomian keluarga pun menjadi anjlok.

Dari data yang didapat Anti dari Jakarta Feminist, sebesar 80 persen mereka yang mengalami kekerasan pertama kali saat pandemi, itu mengalami penurunan pendapatan keluarga.

Kondisi-kondisi tersebut akhirnya membuat iklim rumah tangga menjadi tidak harmonis. Pertengkaran malah sering terjadi hingga berujung pada kekerasan, yang menurut Anti lebih banyak dialami perempuan.

Bahkan menurut Anti, ketika pandemi Covid-19 ini mewabah, kekerasan dalam rumah tangga cukup tinggi. Situasi yang sudah tidak kondusif itu kemudian menjadikan pasangan suami istri memilih untuk bercerai.

Baca Juga: Baru Nikah 2 Tahun Sudah Cerai, Ternyata Suaminya Suka...

Dari sumber yang sama, Anti menerangkan ada berbagai jenis kekerasan yang terjadi. Dari mulai kekerasan verbal sebesar 79 persen, psikis 77 persen, seksual 65 persen, online 48 persen, fisik 39 persen dan kekerasan ekonomi 24 persen.

"Kita melihat KDRT itu menjadi salah satu point besar yang terjadi yang diikuti dengan kekerasan ekonomi, tidak puas dengan kondisi finansial. Jadi saya simpulkan tingkat kekerasan terhadap perempuan yang mengakibatkan perceraian itu sangat signifikan," ungkap Anti.

"Ternyata kekerasan itu yang mengakibatkan percerian bukan hanya dilihat dari soal kekerasna fisik semata, tapi ada juga kekerasan secara ekonomi, dan komunikasi tidak dua arah, terjadi ekspetasi yang tidak nyambung," sambung Anti.

Menurut Anti, angka perceraian ini akan terus bertambah dan dipastikan ada kekerasan di dalamnya. Sebab disaat masyarakat masih beradaptasi dengan Covid-19, tapi kondisi perekonomian belum membaik.

"Jadi tingkat stres kita tinggi ketidakpastian terhadap kehidupan kita tinggi. Ujung-ujungnya kesehatan mentalnya terganggu," paparnya.

Jadi disaat seperti ini, lanjut Anti, pasangan suami istri seharusnya tidak lagi menjadikan budaya patriarki dalam menjalani bahtera rumah tangga. Dimana laki-laki sebagai tonggak utama untuk mencari nafkah.

Seharusnya, dalam mencari nafkah dilakukan bersama-sama dan tidak mengandalkan suami saja. Sebab budaya seperti itu masih mengakar, maka akan rentan terjadinya friksi.

"Begitu laki-laki kena dampak, pasti ribut nih. Tidak dinafkahi, tapi tuntuan berat. Budaya patriakri masih mengakar kuat yang menjadikan perceraian tinggi," ujar perempuan yang juga Direktur Eksekutif Daya Riset Advokasi untuk Perempuan dan Anak Indonesia (DROUPADI) itu. [Suara.com/Ferry Bangkit Rizki]

Load More