Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Rabu, 09 Juni 2021 | 12:55 WIB
Seorang pengendara motor melewati jalan berlumpur menuju Kampung Cijuhung, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat. [Suara.com/ Ferry Bangkit Rizki]

"Pakai perahu biasanya ongkosnya Rp 20 ribu. Tapi banyak eceng gondok. Kalau lewat jalan sini, saya biasanya berani sampai jam 7 malam. Lewat dari jam segitu gak berani," tutur Agus.

Memasuki kebun karet jalan semakin tak karuan. Semakin menyulitkan meskipun sepeda motor yang digunakan jenis Trail. Lengah sedikit saja, kubangan lumpur sudah menanti.

Tak ada rumah satupun. Hanya saung-saung bekas yang sudah nampak lapuk. Biasanya, saung-saung itu digunakan petani karet untuk beristirahat. Kala melintas, para petani itu terlihat sedang menyadap getah karet.

Mereka hanyalah buruh yang dipekerjakan pemilik kebun karet. Salah satunya Encang (46). Sudah tiga bulan bapak tiga anak itu menjadi penyadapan getah karet. Setiap harinya, ada sekitar 200 pohon yang ia sadap getahnya.

Baca Juga: Cek Tahapan PPDB DKI Jakarta 2021, Orang Tua Siswa Wajib Tahu

"Langsung diserahkan kepada yang punya. Sehari paling dapat Rp 30 ribu," ujar Encang.

Perjalanan dilanjutkan dengan sisa tenaga yang ada. Kampung terpencil itu tak kunjung terlihat meski sudah sekitar satu jam lebih melakukan perjalanan. Jalan semakin sulit ditembus ketika memasuki perkebunan coklat lagi.

Setelah susah payah, pemukiman akhirnya mulai terlihat. Tapi lagi-lagi sudah terlihat lapuk, mengingat dindingnya terbuat dari bilik bambu. Temboknya pun mulai retak. Bahkan, beberapa di antaranya sudah tidak berpenghuni.

Wilayah itu masuk Kampung Cijuhung, RT 03/11, Desa Margaluyu. Rumah-rumah itu dulunya milik pemilik perusahaan karet yang diperuntukan bagi pekerjanya. Namun, sejak perkebunan karetnya diakusisi orang China, banyak pegawai yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Seperti yang dialami Abad (68). Warga asli Cianjur itu sudah berpuluh tahun tinggal di rumah milik perkebunan karet itu. Ia memiliki bertahan meski sudah bukan karyawan tetap lagi.

Baca Juga: Rizki DA Ogah Bahas Talak Cerai dan Tes DNA Anak

"Dulu mah banyak yang tinggal di sini pekerjaan. Pas dijual ke China tahun 2020-an, pada pindah karena sudah dikasih pesangon," kata Abad.

Sejak dijual kepada orang asing, semua pekerjanya tidak lagi dibayar tetap. Melainkan dibayar harian. Sehingga banyak yang sudah kembali ke daerah asalnya.

Selain itu, perkebunan pun semakin tidak terusus. Apalagi jalannya yang semakin hancur tanpa tersentuh perbaikan. Kondisi yang membuat ia berpikir dua kali untuk menuju perkotaan, kecuali ada hal mendesak dan ada keperluan.

"Naik perahu sebetulnya lebih singkat tapi lumayan ongkosnya. Jalan darat lebih mudah dan efektif tapi kan aksesnya buruk," ujarnya.

Akses yang serba sulit itu juga bukan hanya berdampak terhadap aktivitas perekonomian. Tapi juga kesehatan dan pendidikan. Warga yang sakit atau akan melahirkan terpaksa melintasi danau menuju Cipeundeuy guna mendapatkan pelayanan medis. Bidan terdekat pun, tuturnya, tak sanggup untuk mendatangi warga Cijuhung.

Untuk akses pendidikan, hanya ada SD Negeri Cibungur yang terdekat. Sekolah itu dijadikan satu atap sebab disatukan dengan sekolah SMP. Sementara untuk sekolah jenjang SMA dan sederajat, siswa terpaksa harus menempuh perjalanan lebih jauh.

Load More