Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Kamis, 19 Agustus 2021 | 15:57 WIB
Seorang nelayan sedang berupaya menjaring ikan di Situ Ciburuy, Kabupaten Bandung Barat belum lama ini. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]

SuaraJabar.id - Matahari bersinar terik membakar kulit Dedi yang semakin keriput dimakan waktu. Menenteng ember kecil berisikan jaring dan dayung, ia berjalan ke arah Situ Ciburuy yang kian menyusut.

Pria 42 tahun asal Kampung Sadang Wetan RT 01/16, Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) itu menuju rakit bambu sederhana miliknya. Ia hendak berlayar menyusuri situ yang melegenda itu.

Dedi mulai mendayung perlahan dan jaringan yang ditenteng nya mulai ia gunakan untuk menangkap "harta karun" berupa ikan. Teriknya matahari pada Rabu (18/8/2021) sekitar pukul 13.00 WIB bukan jadi penghalang.

Sebab di musim kemarau seperti inilah waktunya Dedi dan puluhan warga lainnya untuk menjadi nelayan musiman dengan mencari ikan.

Baca Juga: Sepi Wisatawan, Kawasan Wisata Lembang Jadi Mirip Kota Mati

Debit air Situ Ciburuy surut sejak beberapa bulan lalu sehingga menjadi kesempatan untuk mendapat hasil tangkapan yang cukup banyak.

"Saya biasanya memang mulai nyari ikan pagi sampai siang. Atau enggak siang ke sore," tutur Dedi.

Dedi terus mendayung rakitnya menjauhi bibir Situ Ciburuy. Dari kejauhan terlihat teman-temannya sudah mencari "harta karun" terlebih dulu berupa ikan nila menggunakan jaring atau jalan ikan.

Sesekali mereka menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dalam air yang hangat tersengat sinar matahari. Kedalamannya disebut menyisakan sekitar 1 meter saja dikarenakan debit airnya terus menyusun dimakan kemarau.

Penyusutan debit air itulah yang dimanfaatkan Dedi dan warga setempat untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Sebab ikan menjadi lebih mudah ditangkap ketika airnya menyusut.

Baca Juga: Dapat 1 Ton Ikan dalam Sehari, Nelayan Pangandaran Panen Berkah

Jika sedang beruntung, dalam satu tarikan jaring bisa beberapa ekor ikan yang masuk perangkap. Namun kalau sedang buntung, yang terjaring hanyalah lumpur dan benda-benda lainnya yang mengendap di dasar situ.

"Setiap musim kemarau memang selalu dimanfaatkan untuk nyari ikan. Kalau lagi musim hujan paling mancing, gak bisa langsung pakai jaring," ujar Dedi.

Dari tahun 1993 Dedi sudah menjadi nelayan musiman di Situ Ciburuy yang dibuat sekitar tahun 1800-an oleh Bempi atas pesuruh Ratu Wilhelmina dari Belanda. Dedi menjadikan rutinitas ini sebagai mata pencaharian dikala ordernya sedang sepi.

Dedi sehari-harinya merupakan buruh bangunan. Namun sejak pandemi COVID-19 ini panggilan untuk memanfaatkan jasanya sangat jarang. Ia pun semakin menguras keringatnya untuk mencari ikan.

Dalam sehari, ia bisa mendapat hasil tangkapan sekitar 10 kilogram ikan nila segar. Namun jika sedang sulit, Dedi hanya mendapat sekitar 5 kilogram ikan hasil tangkapannya dengan menyusuri Situ Ciburuy seluas 25 hektare.

Ikan-ikan itu dijualnya seharga Rp 15 ribu per kilogram. Artinya jika sehari ada 10 kilogram yang ditangkap, maka ia bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah hingga Rp 150 ribu untuk dibawa pulang ke rumah.

"Kalau enggak ada yang beli, buat dimasak di rumah dan dibagikan ke keluarga," ucap Dedi.

Ia memprediksi musim kemarau masih akan berlangsung hingga akhir tahun nanti. Sehingga disisa waktu ini, ia terus memanfaatkannya untuk mencari ikan-ikan segar yang bisa membantu perekonomian keluarganya.

Situ Ciburuy yang dibangun zaman Belanda sendiri dijadikan objek wisata air.

Bahkan, kini renovasi kawasan tersebut tengah direnovasi Pemkab Bandung Barat dengan bantuan anggaran dari Pemporv Jabar.

Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki

Load More