Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Kamis, 30 September 2021 | 14:50 WIB
ILUSTRASI- Kongres PKI. Di mana saat itu ada seorang bangsawan Kukar yang memilih menjadi kader PKI. [Istimewa]

SuaraJabar.id - Gerakan 30 September 1965 yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau yang lebih dikenal dengan G30S PKI memberikan dampak yang cukup besar pada iklim politik di Kota Bandung.

Tak heran, PKI pernah memenangkan Pemilu DPRD Kota Bandung pada 1957. Partai berlambang palu arit itu sempat besar di Kota Bandung.

Ibu Kota orang Sunda ini pun pernah dipimpin oleh seorang wali kota yang disebut memiliki afiliasi kuat dengan PKI, yakni Didi Djukardi.

Namun konstelasi berubah setelah peristiwa berdarah G30S PKI. Warga Kota Kembang seolah menjadikan PKI dan segala sesuatu yang berhubungan dengan komunisme menjadi musuh bersama.

Baca Juga: Buku Merah Serpong, Catatan Sejarah 27 Anggota PKI Dilabeli Orang Terlarang di KTP

Salah satu bentuk penolakan rakyat Kota Bandung pada PKI dan segala sesuatu yang berbau komunis alah satunya dapat terlihat dari peristiwa yang terjadi pada Senin, 10 Mei 1966.

Kampus SMAN 2 Bandung yang dulunya merupakan milik Sekolah Chung Hwa. [Facebook SMAN 2 Bandung]

Dikutip dari buku berjudul 'Torehan Insan Membangun Negeri' yang diterbitkan oleh Ikatan Alumni SMAN 2 Bandung dan ditulis oleh Ari Syahril Ramadhan dan Dikdik Rahmat Mulyana, sempat terjadi perebutan aset yang dimiliki oleh pihak-pihak yang dianggap memiliki keteraitan dengan PKI, komunis dan Partai Komunis Tiongkok.

Salah satunya perebutan paksa bangunan kampus sekolah Chung Hwa yang berada di Jalan Cihampelas Kota Bandung oleh mahasiswa ITB.

Aksi itu berawal dari ribuan massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) menggelar Apel Pancasila di Alun-Alun Kota Bandung pada Senin, 10 Mei 1966 pagi.

Aksi massa ini sudah direncanakan dengan matang. Skemanya, seluruh massa aksi bergerak menuju Alun-Alun Bandung kemudian mendatangi beberapa lembaga yang diduga berafiliasi dengan Partai Komunis Tiongkok.

Baca Juga: Profil Abdul Haris Nasution: Jenderal Besar, Konseptor Perang Gerilya dan Dwifungsi ABRI

Namun, Hendro Martono, seorang Mahasiswa Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) memiliki rencana lain untuk momentum 10 Mei 1966 di Bandung.

Ia menggalang dukungan dari rekan-rekannya di Perisai Diri ITB. Tujuannya, untuk menduduki kampus sekolah Chung Hwa yang terletak di Jalan Cihampelas No. 173.

Setelah mendapat dukungan, Hendro mulai mengatur taktik dan strategi. Ia masih mengingat, saat itu Perisai Diri ITB menggelar rapat hingga pukul 01.00 dini hari. Maklum kata Hendro, banyak hal yang mereka bahas. Mulai dari pemetaan geografis, hingga taktik untuk tak terlihat oleh aparat keamanan.

Selasa pagi, 10 Mei 1966, massa anti-komunis ITB berkumpul di kampus. Mereka kemudian bergerak bersama menuju Alun-Alun Bandung untuk mengikuti Apel Pancasila.

Namun, Hendro dan anak-anak Perisai DIri ITB tidak ikut dalam barisan massa aksi. Mereka berbelok menuju titik kumpul yang sudah ditentukan.

Beberapa berkumpul di pertigaan Gandok. Tugasnya mengawasi pos polisi yang ada di sana.

“Ada pos polisi, kita lihat-lihat. Gimana caranya supaya kita lebih cepat dari polisi,” ujar Hendro.

Anggota tim yang lain berkumpul di lorong-lorong yang terletak di seberang sekolah yang akan mereka duduki. Ketika kondisi dirasa sudah aman, mereka bergerak menuju kampus Chung Hwa.

“Tanpa perlawanan. Kami beri naskah isinya mereka menyerahkan sekolah. Naskah itu ditandatangani oleh kepala sekolah mereka. Pas jam makan siang, mereka semua meninggalkan sekolah,” kenang alumni angkatan 1963 ini.

Setelah berhasil diduduki, mereka berkoordinasi dengan komando terotorial militer terdekat. Komando Distrik Militer (Kodim) Kota Bandung kemudian meminta Resimen Mahasiswa Mahawarman ITB untuk menjaga kampus sekolah eks Chung Hwa. Hendro mengaku turut serta menjaga bangunan sekolah itu.

“Kalau saya dulu Mahawarman, disuruh jagain lah,” ujar Hendro.

Tak lama kemudian, Kodim Kota Bandung mengambil alih kampus sekolah eks Chung Hwa. Hendro mengatakan ia sempat kembali ke tempat itu untuk menanyakan nasib bangunan itu.

Ia mengaku merasa sempat kecewa saat tentara yang berjaga memberitahu kampus sekolah eks Chung Hwa akan diberikan pada Universitas Padjadjaran.

“Tapi janganlah, orang yang ngambil kan saya alumni dua. Jadi akhirnya kampus sekolah itu diberikan pada SMAN 2 Bandung,” pungkasnya.

Load More