Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Rabu, 17 Agustus 2022 | 15:03 WIB
Peristiwa Bandung Lautan Api. [Istimewa]

SuaraJabar.id - Perjuangan Rakyat Indonesia untuk mendapatkan merebut kedaulatan tak berhenti sampai Ir Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Baru sebulan dari hari lahirnya Bangsa Indonesia, Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA) dengan bantuan tentara sekutu sudah kembali mendarat di Jakarta. Tuuannya jelas, ingin kembali merebut kedaulatan dari tangan Rakyat Indonesia.

NICA dan sekutunya yakni Tentara Inggris kemudian melebur menjadi Allied Military Administration-Civil Affairs Branch atau AMACAB. Perubahan nama ini diduga untuk mengelabui Bangsa Indonesia mengingat NICA masih menggunakan nama Nederlandsch Indische atau Hindia Belanda.

Apa pun bentuknya, Rakyat Indonesia saat itu telah mengetahui perubahan nama itu hanyalah akal-akalan kaum imperialis.

Baca Juga: Bangga Rayakan HUT RI Ke-77, Amanda Manopo: Saya Terkenal karena Tinggal di Indonesia

Salah satu bentuk perlawanan Rakyat Indonesia saat itu adalah peristiwa Bandung Lautan Api. Peristiwa Bandung Lautan Api tidak hanya terjadi di wilayah Kota Bandung. Pada 23 Maret 1946 silam, rakyat Indonesia di Kota Cimahi juga terlibat dalam aksi membumihanguskan kotanya sendiri.

Masjid Baiturrohmah di Kota Cimahi yang dibangun pada tahun 1938. Semasa zaman mempertahankan kemerdekaan, masjid ini sering dipakai berkumpul oleh para pejuang kemerdekaan. Masjid ini pun pernah dibom oleh Belanda, namun tetap kokoh hingga saat ini. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]

Di hari itu, rakyat Kota Cimahi melakukan pembakaran rumah dan bangunan di kawasan Tagog, Cibabat hingga Cimindi. Selain rumah yang berada di pinggir jalan, rakyat bersama para pejuang juga membakar toko-toko.

"Ketika Bandung dibumihanguskan, Cimahi juga menjadi bagian dari aksi lautan api itu. Toko-toko di jejeran Tagog tutut dibakar," ungkap pegiat sejarah, Machmud Mubarok kepada Suara.com beberapa waktu lalu.

Aksi pembakaran oleh rakyat dan tentara itu sebagai taktik agar bangunan itu tidak dijadikan markas pasukan imperialis yang ingin kebali menjajah Indonesia.

Sehari setelah peristiwa Bandung Lautan Api, terjadilah pertemuran 4 hari 4 malam di Cimahi.

Baca Juga: Viral! Publik Dibuat Merinding dengan Semangat Paskibra Bertugas di Lapangan Penuh Lumpur: Kalian Luar Biasa

Pertempuran itu terjadi di sekitar Penjara Poncol di Kalidam dan Jalan Gatot Subroto, yang memang dulunya dijadikan tangsi Belanda.

Dari tanggal 24-28 Maret, para pejuang Cimahi seperti Daeng Ardiwinata, Detasemen Abdul Hamid, Polisi Tentara FE Thanos, Hijbullah Haji Hadi, hingga Fisabilillah Babakan Santri KH Usman Dhomiri menyerang kamp Sekutu dan Belanda dari berbagai penjuru.

Kekuatan tambahan saat itu datang dari Detasemen Lasiman di Batujajar, Kompi Arifin dan Somantri dari Yon Hutagalung. Senjata yang digunakan saat itu di antaranya senjata rampasan dari Jepang dan molotov untuk membakar bangunan.

"Lalu ditembakan pula mortir kecil Tekidanto yang dioperasikan orang Jepang, yang bergabung ke kubu para pejuang," terang Machmud.

Namun serangan itu tak membuahkan hasil. Sekutu dan Belanda tidak hancur akibat serangan para pejuang di Cimahi.

Malah, kemudian mereka melancarkan serangan balik dengan menembakan meriam ke segala arah. Termasuk perkampungan.

Kemudian pasukan infanteri Belanda juga keluar dari kamp untuk mencari para pejuang hingga masuk gang. Didahului tank, pasukan Belanda pun menyapu kubu pejuang Cimahi.

Setelah itu, para pejuang mulai mengungsi ke arah selatan lantaran kekuatan Belanda saat itu sulit ditembus.

"Pada akhirnya semua pejuang mundir ke garis pertahanan Citarum," ucap Machmud.

Load More