Andi Ahmad S
Kamis, 11 September 2025 | 14:52 WIB
CEO Suara.com, Suwarjono di Acara Jabar Media Summit 2025 yang digelar di Bandung, Kamis (11/9/2025) [Jabar Media Summit]
Baca 10 detik
  • Industri Media Indonesia Berada di Titik Kritis
  • Diversifikasi Bisnis Menjadi Kunci Bertahan Hidup
  • Diperlukan Intervensi Eksternal dan Perubahan Strategi
[batas-kesimpulan]

SuaraJabar.id - Sebuah pertanyaan genting menggema di industri media Indonesia bertahan atau tenggelam? Di tengah badai disrupsi AI, anjloknya pendapatan iklan, dan perubahan drastis perilaku audiens, tahun 2025 menjadi titik kritis.

Para pimpinan media pun terpaksa membuka "dapur" mereka dan mengakui satu kenyataan pahit: jurnalisme kini tak mampu membiayai dirinya sendiri.

Dalam acara Jabar Media Summit 2025 yang digelar di Bandung, Kamis (11/9/2025), para CEO dan pakar media tak lagi menutupi borok industri.

Mereka membedah tantangan sekaligus mencari secercah harapan agar pilar keempat demokrasi ini tidak runtuh.

CEO Suara.com, Suwarjono, tanpa basa-basi memaparkan masalah paling fundamental yang mengancam ruang redaksi di seluruh Indonesia.

“Isu kekinian yang paling berat soal keberlangsungan hidup media. Jurnalisme sekarang ini tidak mampu dan kesulitan membiayai biaya produksi media. Belakangan ini banyak media yang tidak bisa menangani gelombang badai tersebut,” ujarnya.

Menurutnya, satu-satunya cara agar media bisa berumur panjang adalah dengan tidak hanya mengandalkan berita. Diversifikasi bisnis menjadi kunci mutlak.

Jurus Bertahan Suara.com:

Menemukan lini bisnis lain di luar pemberitaan. Suwarjono mengklaim strategi ini yang membuat Suara.com bisa bertahan satu dekade tanpa pernah melakukan PHK massal.

Baca Juga: Alarm Merah di Jantung Bogor: Cibinong, Pusat Pemerintahan, Jadi 'Ibu Kota' Prostitusi

Ancaman Nyata:

Ia merinci 10 tantangan besar, mulai dari penurunan trafik, efisiensi anggaran iklan, disrupsi AI, hingga dominasi platform digital yang menyedot kue iklan.

Kondisi ini tak hanya dialami media baru. Media legendaris sekelas Tempo pun merasakan pukulan telak.

CEO Tempo, Wahyu Dhyatmika, mengungkap dilema antara menciptakan nilai bagi publik (demokrasi) dan menangkap nilai ekonomi (cuan).

“Problemnya adalah adanya kesenjangan antara jumlah yang dihasilkan model bisnis ini, dan itu cukup signifikan berdampak pada trafik atau pageview media,” kata Wahyu.

Jabar Media Summit 2025 yang digelar di Bandung, Kamis (11/9/2025) [Jabar Media Summit]

Ia membeberkan fakta mengejutkan: pendapatan dari langganan Tempo hanya mampu menutup 15 persen dari total biaya produksi redaksi.

Ini membuktikan bahwa mengandalkan adsense dan pageview adalah resep menuju kebangkrutan. Solusinya? Wahyu mendesak negara turun tangan.

"Negara harus mengintervensi kegagalan pasar ini untuk melindungi media. Bisa dengan dimulai dengan pemerintah untuk memberikan keringanan pajak penghasilan untuk karyawan di perusahaan media,” sarannya.

Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Muhammad Jazuli, menyoroti masalah lain: ketidakadilan regulasi. Media arus utama diikat oleh aturan ketat, sementara media sosial bebas beroperasi tanpa pengawasan konten dan bisnis yang setara.

“Media arus utama apapun platform bentuknya, itu jelas ada aturannya. Sementara social media dari segi konten maupun dari segi bisnis tidak ada yang mengatur,” ujarnya.

Di sisi lain, kepercayaan publik juga menjadi taruhan. Sepanjang 2025, Dewan Pers menerima 867 aduan, dan mayoritas dimenangkan oleh pengadu. Ini adalah sinyal keras bagi media untuk segera berbenah.

Di tengah gambaran suram, secercah harapan justru datang dari akar rumput. Eva Danayanti dari International Media Support (IMS) menegaskan bahwa masa depan mungkin ada di tangan media-media lokal. Kuncinya bukan menjadi raksasa, tetapi menjadi relevan.

“Kuncinya kalau ngomongin konten, kalau kita memperhatikan di sekitar dan di sebelah kita, itu bisa lebih relevan untuk konten media lokal bahkan hiperlokal,” kata Eva.

Ia mendorong media untuk tidak lagi memperlakukan audiens hanya sebagai pembaca, tetapi sebagai komunitas yang bisa diajak terlibat.

"Jadi bagaimana audiens tidak hanya diberlakukan sebagai pembaca tapi juga bagaimana mereka bisa terlibat,” jelasnya.

“Ke depan media lokal bukan bagaimana menjadi media besar, tapi bagaimana menjadi relevan dengan konteks lokalnya.” sambungnya.

Load More