Andi Ahmad S
Kamis, 25 September 2025 | 21:21 WIB
Ilustrasi Keracunan MBG di Cianjur [SuaraSulsel.id/Istimewa]
Baca 10 detik
  • Keracunan massal diduga dari program MBG. Puluhan siswa SDN Taruna Bakti Cianjur mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu Makanan Bergizi Gratis (MBG).

  • Kualitas dan pengawasan MBG dipertanyakan. Insiden ini menyoroti perlunya pengawasan ketat, karena siswa sudah mengeluhkan rasa dan bau makanan.

  • Investigasi untuk kepastian dan kepercayaan. Sampel makanan dibawa ke laboratorium, hasilnya penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap program MBG.

SuaraJabar.id - Program Makanan Bergizi Gratis (MBG), yang digadang-gadang sebagai salah satu inisiatif strategis pemerintah untuk meningkatkan gizi anak-anak, kini menghadapi ujian berat di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Puluhan siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Taruna Bakti di Kecamatan Cugenang diduga mengalami keracunan massal setelah menyantap menu MBG pada Kamis.

Insiden ini sontak memicu respons cepat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur dan pihak berwenang, namun sekaligus mengangkat pertanyaan serius mengenai standar kualitas, pengawasan, dan implementasi program berskala nasional ini.

Kejadian yang menimpa siswa-siswa di SDN Taruna Bakti bukan hanya sekadar insiden kesehatan biasa. Ini adalah pukulan telak bagi kredibilitas sebuah program yang menyedot perhatian publik dan dana negara, dengan janji untuk membangun generasi sehat dan cerdas.

Dugaan keracunan ini menyoroti kerentanan dalam rantai pasok dan pengolahan makanan, serta pentingnya pengawasan yang ketat demi menjaga keselamatan anak didik yang menjadi sasaran utama program.

Kepala Puskesmas Cugenang, Alit Sulastri, melaporkan bahwa pihaknya menerima laporan adanya sekitar 30 orang siswa yang mengalami gejala keracunan.

Tim medis segera bergerak cepat untuk memberikan penanganan langsung, baik di lokasi sekolah maupun di Puskesmas.

“Kami langsung mengirim petugas ke sekolah guna melakukan penanganan medis terhadap puluhan siswa yang mengalami keracunan usai menyantap hidangan MBG, beberapa orang menjalani perawatan di Puskesmas Cugenang,” kata Alit dilansir dari Antara.

Gerak cepat ini menunjukkan kesigapan petugas kesehatan dalam menangani situasi darurat yang melibatkan puluhan anak-anak.

Baca Juga: Siap Jadi Pusat Rujukan, Bagaimana RSUD Kota Bogor Layani Pasien dari Depok hingga Cianjur?

Tim dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur juga langsung turun ke lokasi untuk melakukan investigasi dan penanganan lebih lanjut. Hingga saat ini, tim masih terus melakukan penanganan dan pengawasan terhadap siswa yang kondisinya mulai membaik.

Sebagian besar siswa kini menjalani perawatan di rumahnya masing-masing, namun petugas kesehatan tetap bersiaga dan secara bergantian melakukan pemeriksaan ketika dibutuhkan.

“Kami akan memberikan pengawasan hingga kondisi para pelajar korban keracunan dipastikan sudah pulih dan dapat beraktivitas seperti biasa,” tegas Alit.

Kapolsek Cugenang, Kompol Usep Nurdin, mengonfirmasi data awal bahwa terdata 30 orang murid SDN Taruna Bakti yang mengalami gejala umum keracunan makanan yakni pusing, mual, dan muntah, setelah menyantap menu MBG.

Sebagian besar siswa, menurut Kapolsek, menjalani perawatan di sekolah dan di rumah masing-masing, menunjukkan bahwa tingkat keparahan gejala bervariasi.

Untuk memastikan penyebab pasti dari dugaan keracunan ini, langkah krusial telah diambil.

“Untuk sampel makanan yang diduga menjadi penyebab keracunan sudah dibawa Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur guna dilakukan uji laboratorium untuk memastikan penyebab keracunan,” kata Kompol Usep Nurdin.

Hasil uji laboratorium ini sangat dinantikan karena akan menjadi bukti ilmiah yang menentukan apakah makanan MBG benar-benar menjadi pemicu keracunan atau ada faktor lain yang berperan. Transparansi hasil uji lab akan menjadi kunci dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap program ini.

Kepala Sekolah SD Taruna Bakti, Nani Hertiani, memberikan gambaran kronologis kejadian dari sisi sekolah. Ia menjelaskan bahwa puluhan siswa yang terpengaruh berasal dari kelas I, IV, dan V.

Mereka mulai mengeluh pusing, mual, dan muntah selang beberapa saat setelah menyantap menu MBG yang terdiri dari kentang, tempe, ayam suwir, dan buncis.

“Selang dua jam setelah menyantap MBG sejumlah siswa mengeluh pusing, mual dan muntah, tidak lama berselang belasan siswa lainnya mengeluhkan hal yang sama, sehingga kami meminta bantuan puskesmas setempat,” kata Nani.

Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah kesaksian awal dari para siswa itu sendiri. Nani Hertiani menambahkan bahwa sebelum insiden ini, sejumlah siswa sudah mengeluh mengenai kualitas makanan yang disajikan.

Mereka mengeluhkan rasa tempe dan sayuran yang disajikan terasa kurang enak dan mengeluarkan bau tidak sedap.

Keluhan ini sangat signifikan karena menunjukkan adanya indikasi masalah kualitas atau kesegaran bahan baku makanan.

"Banyak siswa yang tidak memakan MBG yang dibagikan," ungkapnyaa.

Insiden di SDN Taruna Bakti Cianjur ini menjadi pengingat keras akan pentingnya pengawasan kualitas yang sangat ketat dalam program MBG.

Program ini, meskipun memiliki tujuan mulia untuk mengatasi masalah gizi dan mendukung tumbuh kembang anak, akan kehilangan esensinya jika aspek keamanan dan kebersihan pangan tidak terjamin sepenuhnya.

Skala program yang luas menuntut sistem manajemen mutu yang canggih, mulai dari pengadaan bahan baku, proses pengolahan, hingga distribusi makanan.

Kekhawatiran siswa mengenai rasa dan bau tidak sedap pada tempe dan sayuran harus menjadi perhatian serius.

Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya masalah dalam penyimpanan bahan mentah, kebersihan dapur, atau bahkan tanggal kedaluwarsa bahan makanan.

Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan pihak terkait lainnya harus segera melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh rantai pasokan dan proses pengolahan makanan untuk program MBG di wilayah Cianjur, dan bahkan di seluruh Jawa Barat.

Kasus ini menuntut akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat dalam implementasi MBG. Publik menunggu hasil uji laboratorium dan tindakan konkret dari pemerintah untuk memastikan bahwa program yang bertujuan baik ini tidak justru membahayakan kesehatan anak-anak.

Load More