SuaraJabar.id - Beberapa anak berseragam pramuka nampak terlihat bergembira di dalam sebuah ruang kelas yang berbeda dari kebanyakan. Belasan anak nampak duduk melingkar tanpa alas di lantai berkeramik putih.
Sesekali tatapan mereka memperhatikan gerakan sang guru yang sedang memberikan arahan dalam suatu permainan. Pemandangan di Jumat (18/10/2019) pagi itu berbeda dari sekolah pada umumnya.
Maklum saja, mereka harus belajar di sebuah ruangan yang membahayakan bagi mereka. Keterpaksaan tersebut terjadi lantaran, atap bangunan sekolah tempat mereka belajar ambruk pada 25 September 2019 lalu. Beruntung, saat kejadian tidak sedang berlangsung kegiatan belajar mengajar.
Baca Juga:Segenggam Harapan Anak Berkebutuhan Khusus
Meski atap yang ambruk berada di gudang sekolah, namun kekhawatiran akan peristiwa serupa bakal menimpa ruang kelas tempat mereka belajar menimbulkan rasa was-was. Belum lagi ditambah kenyataan, jika usia gedung sekolah yang ditempati mereka sejak 11 tahun tersebut sudah berumur lebih dari 30 tahun. Pun kondisinya sudah mulai memprihatinkan lantaran belum adanya bantuan yang turun untuk renovasi gedung.
****
Waktu masih menunjukan Pukul 08.00 WIB, saat 15 anak bersiap untuk mengikuti kegiatan berbaris sebelum memulai jam pelajaran pertama di Sekolah Luar Biasa (SLB) tipe C Pariwisata Bundaku yang berada di Perumahan Taman Wisma Asri, Kelurahan Teluk Pucung, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (18/10/2019).
Seorang guru nampak mengarahkan anak didiknya untuk memulai jam pelajaran dengan bernyanyi bersama dan permainan. Konon, cara tersebut menjadi metode bagi sang guru untuk mendekatkan diri dengan anak berkebutuhan khusus, tuna grahita.
Tuna grahita sendiri merujuk pada individu dengan intelegensi yang spesial, lantaran memerlukan bimbingan untuk bisa beradaptasi. Mereka perlu mendapat pembelajaran tentang bina diri dan sosialisasi.
Baca Juga:Atap SLB Bundaku di Bekasi Roboh, Siswa Terpaksa Belajar di Pos RW
Tak heran, jika anak penyandang tuna grahita lebih senang banyak bermain di sekolah, begitu juga bernyanyi. Lantaran mereka akan lebih cepat menangkap dengan metode pembelajaran itu sebagai awal dari pengenalan lingkungan.
Pembelajaran yang diberlakukan di SLB tipe C tersebut pun disetarakan dengan siswa yang baru menginjak Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Walaupun, saat ini baru satu siswa yang menginjak bangku SMK.
Satu orang tua siswa yang anaknya duduk di bangku SMK SLB tersebut, Reni Feriyana (40) mengakui persoalan yang akan dihadapi anak berkebutuhan khusus tersebut pada nantinya akan sulit untuk mencari pekerjaan.
Ibu dari Tarian Putri (17) masih memiliki optimisme buah hatinya akan bisa anak normal lainnya dalam hal kemandirian. Meski hanya memiliki segenggam harapan anak berkebutuhan khusus seperti Tarian bisa mendapat kesempatan pekerjaan.
"Anak saya kalau sudah mandiri saja sudah senang saya, enggak muluk-muluk kok," kata Reni kepada Suara.com yang merasakan dari dekat suasana belajar mengajar di sekolah tersebut.
Reni mengemukakan sejak SMP, Tarian Putri, sudah menuntut ilmu di SLB tipe C Pariwisata Bundaku. Pun, ia berharap pemerintah juga bisa lebih peduli terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, terutama saat para anak berkebutuhan khusus berada di usia remaja dan menjalani masa tua.
"Usia mereka kan terus bertambah, dan mereka akan menjalani masa tua sehingga kebutuhan ekonomi juga semakin besar, kalau bisa diperjuangkan ada tunjangan bagi mereka," ujarnya.
Harapan serupa juga diungkapkan Titi Suratri (50), orang tua Ridho Nafindra (14) yang kini duduk di bangku SMP sekolah tersebut. Dia memiliki harapan besar agar Pemkot Bekasi dapat membangun SLB di setiap wilayah.
Lantaran, saat ini Kota Bekasi, hanya mempunyai satu SLB Negeri yang berada di wilayah Kecamatan Bekasi Timur. Keberadaan SLB Negeri, kata Titi, cukup dinanti bagi orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus karena bisa meringankan beban biaya sekolah.
"Kita kan juga ingin disamakan seperti sekolah negeri pada umumnya yang gratis, kalau sekarang hanya satu saja di Bekasi Timur. Minimal seharusnya setiap kecamatan ada SLB Negeri," tutur Titi.
Sejauh ini, Titi harus membayar SPP tiap bulan agar anak tercintanya bisa mengenyam sekolah setinggi-tingginya.
"Dari TK sampai sekarang sudah SMP, ya saya harus membayar SPP setiap bulannya. Makanya pembangunan SLB Negeri itu penting. Menurut kami untuk meringankan ekonomi, SLB di Kota Bekasi sedikit ya, kalau pun ada ya biayanya cukup lumayan," katanya.
Pun Titi berharap pemerintah bisa menyediakan taman bermain bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Alasan yang dikemukakan Titi cukup beralasan, lantaran taman bermain yang ada belum terlalu ramah bagi anak berkebutuhan khusus. Hingga muncul kekhawatiran adanya perbuatan perundungan yang selama ini kerap menimpa anak berkebutuhan khusus.
"Kalau disatuin itu (dengan anak normal) belum ramah bagi anak berkebutuhan khusus," ungkapnya.
Belajar Ketulusan dari 'Anak-anak Spesial'
Tiga tahun sudah Siti Masita mengajar di SLB tipe C Pariwisata Bundaku. Suka duka mengajar anak-anak berkebutuhan khusus membuatnya mendapat pengalaman dan pelajaran hidup yang tak pernah didapat sebelumnya.
"Mengajar kepada anak berkebutuhan khusus itu harus dengan kelembutan dan kesabaran," katanya.
Buah kelembutan dan kesabaran itu pun menuai hasil yang manis. Perlahan anak didiknya di SLB tipe C Pariwisata Bundaku bisa menyerap pelajaran yang telah diberikan.
"Sudah ada yang bisa menulis, ada yang bisa membaca, menggambar. Ada yang bisa nulis tapi enggak bisa baca, ada yang bisa baca tapi enggak bisa nulis juga," ujar Siti.
Buah itu pula yang juga dirasakan orang tua murid di sekolah tersebut. Lantaran orang tua murid merasakan sang buah hatinya sudah berkembang lebih baik.
Bagi Siti, meski berkedudukan sebagai pengajar, anak berkebutuhan khusus juga mengajarkan kepadanya makna ketulusan yang tanpa pamrih.
"Misalnya, saya kasih permen atau kerupuk, itu mereka sudah senang banget. Saya senang karena pemberian saya sangat dihargai, walau nilainya tidak seberapa. Kalau kami (guru) diam nanti mereka tanya, 'ibu kenapa sakit ya'," jelasnya.
Kepala SLB tipe C Pariwisata Bundaku Anggraeni Puspa Sari mengemukakan, sekolah yang dikelolanya membuka peluang bagi anak berkebutuhan khusus dari kalangan kurang mampu untuk tetap menuntut ilmu di sekolah tersebut. Bahkan, ia mengaku, pihak sekolah dan yayasan tidak memberatkan administrasi bagi para siswa kurang mampu.
"SPP di sekolah kami sebesar Rp 500 ribu per bulan. Namun, kami tidak memberatkan mereka yang tidak mampu untuk membayar secara penuh. Kami terima kadang ada yang kasih Rp 200-300 ribu per bulan," katanya.
Walau demikian, Anggareni mengaku hingga saat ini sekolah yang dikelola sejak tahun 2008 silam tersebut, belum mendapatkan bantuan anggaran. Dia memaklumi, lantaran sekolahnya belum mempunyai izin operasional dari Pemkot Bekasi.
Hingga tak heran, saat atap bangunan sekolah yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar tersebut roboh, pihaknya belum juga mendapat bantuan.
Meski begitu, pihak Yayasan Handani selaku pemilik SLB tipe C Pariwisata Bundaku telah mengurus izin operasionalnya ke Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan Kota Bekasi.
"Kami sudah mendapatkan arahan dari Disdik Kota Bekasi dan sudah dijalani untuk izin operasionalnya," ujar dia.
Namun, persoalan tersebut ternyata belum selesai. Lantaran masa kontrak lahan sekolah tersebut akan selesai di tahun 2020 mendatang.
"Terlebih SLB yang kami tempati ini masih mengontrak habis sampai April 2020. Sementara mengenai atap roboh kami akan pindah mulai Senin (21/10/2019) pekan depan ke Pos RW 11 sampai dengan Juli 2020," katanya.
Meski begitu, mereka optimis bisa memberikan yang terbaik bagi anak berkebutuhan khusus SLB tipe C Pariwisata Bundaku yang menyelenggarakan pendidikan dari jenjang TK hingga SMK agar kelak 'anak-anak spesial' tersebut bisa hidup mandiri di tengah masyarakat.
Kontributor : Mochamad Yacub Ardiansyah