SuaraJabar.id - Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengeluarkan pernyataan emosional mengenai cangkul impor asal China yang berada di pasaran. Keberadaan cangkul impor tersebut menjadi persoalan lantaran, selama ini cangkul kerap menjadi salah satu hasil produk lokal.
Meski begitu, para perajin logam di Desa Cibatu, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi mengakui kebanyakan masih menggunakan bahan baku impor untuk pembuatan cangkul.
Ketua Koperasi Industri Kerajinan Rakyat (Kopinkra) Cibatu Asep Rohendi menyebutkan bahan baku itu ada yang berasal dari Korea Selatan. Namun, ada juga yang berasal dari dalam negeri yaitu Krakatau Steel dan juga berbahan dasar dari drum bekas.
Menurut pria yang akrab disapa Asro, ketiga bahan baku tersebut memiliki karakter yang berbeda saat digunakan. Dia menyebut perbedaan paling terasa saat menggunakan bahan baku dari Krakatau Steel dan Korea Selatan.
Baca Juga:Sepanjang Tahun Ini Cangkul Impor Asal China Capai 297 Ribu Kg
"Ada plat lembaran (untuk bahan baku) ada yang buatan Krakatau Steel, ada yang merknya Posco, kalau Posco itu buatan Korea Selatan, itu impor" ujar Asro saat dihubungi Sukabumiupdate.com-jaringan Suara.com pada Minggu (1/12/2019).
Menurutnya, kebanyakan perajin memilih bahan baku dari Korea Selatan karena ada beberapa alasan yang mendasarinya, terutama kelenturan mata cangkul.
"Karena yang buatan Krakatau Steel itu bajanya terlalu tinggi, kalau terjadi benturan maka (cangkul) akan patah. Sedangkan kalau buatan Posco ketika terjadi benturan (cangkul) akan menekuk."
Menurutnya, salah satu perajin logam yang menggunakan bahan baku asal Korea Selatan salah satunya CV Roda Daya Sukabumi (Rodas) milik pengusaha Uwoh Saefulloh, yang bengkelnya didatangi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki pada Sabtu (23/11/2019) lalu. Namun, kata Asro, bahan baku dari Korea Selatan itu harus dibeli dalam jumlah banyak.
"Karena Posco belinya harus di partai. Beli partai itu begini minimal belinya lima ton, sedangkan cangkul itu beratnya hanya setengah kilogram. Kalau lima ton untuk berapa ribu (cangkul)," jelasnya.
Baca Juga:Jokowi Sindir Menterinya Impor Cangkul?
Asro mengemukakan, saat memesan tidak bisa sedikit. Jika yang dipesan sedikit, maka bahan baku akan dibeli dari toko-toko yang dekat saja. Selain itu, alasan membeli bahan baku dari toko-toko terdekat karena menyesuaikan dari kebutuhan barang yang dibuat, misalkan ketebalan plat logamnya.
Sedangkan, bekas drum sebagai bahan cangkul menjadi alternatif pilihan. Biasanya, dia mengemukakan, pengguna bekas drum merupakan pandai besi yang masih tradisional. Para pandai besi ini sama sekali tidak menggunakan mesin dan jumlah cangkul yang diproduksi pun tidak banyak.
"Sama sekali tidak menggunakan mesin kecuali menggunakan martil. Sehari itu paling banyak dua sampai lima (cangkul yang diproduksi pandai besi). Yang sekarang itu, para pandai besi di Cibatu tidak terlalu banyak karena tidak ada regenasi," jelas Asro.
Meskipun dengan drum bekas, tapi ada proses yang membuat cangkul tersebut kuat.
"Biasanya mereka yang bikin seperti itu disepuh lagi agar kekuatan (cangkulnya) sesuai kebutuhan," jelasnya.
Mengenai Krakatau Steel, Asro mengatakan, sistem penjualan Krakatau Steel ke UKM sama dengan penjualan ke swasta-swasta biasa dan dirasakannya ada aturan yang merepotkan.
"Kalau dulu zamannya Pak Soeharto, mereka menjual ke UKM dengan harga di bawah standar. Kalau sekarang, inden dulu dua minggu. Tapi apakah inden dua minggu masih berlaku atau tidak. Tapi yang saya ikuti, tiga tahun ke belakang inden dulu dua minggu lalu survei, ribet lah ribet," ujar Asro.
Namun, lanjutnya, apabila dibandingkan harga bahan baku yang berasal dari Krakatau Steel lebih kompetitif dibanding bahan baku yang dari Korea Selatan.
"Kalau bicara soal harga Krakatau Steel lebih kompetitif. Tapi itu tadi nilai kekerasannya terlalu tinggi dan produksi Krakatau Steel kelihatannya belum selera pasar UKM," katanya.