Sesuai UU tersebut, BNN merupakan pemangku kepentingan terkait pencegahan, pemberantasan, peredaran dan penyalahgunaan narkotika, termasuk ganja.
Begitu juga Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengemukakan hingga saat ini ganja masih masuk dalam kategori narkotika golongan I seperti sabu-sabu, kokain dan heroin.
"Jadi bisa dipahami kalau ganja ini memiliki implikasi hukum dalam penggunaannya,” kata dia.Mantan Bupati Purwakarta ini mencontohkan, beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan penangkapan seorang pria karena kedapatan menanam ganja.
Pria tersebut sebenarnya menanam ganja hanya untuk kebutuhan obat istrinya, tetapi tetap saja harus berurusan dengan hukum.
Baca Juga:Polres Metro Tangerang Ungkap Sindikat Pengiriman Ganja Ratusan Kilogram
Kalau sekarang ganja menjadi tanaman obat, maka harus dimulai dengan perubahan undang-undang dan harus dikaji terlebih dahulu secara komprehensif. "Tidak bisa sepihak memutuskan," katanya.
Bagi Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Kepmentan yang mencantumkan ganja sebagai komoditas tanaman binaan jangan sekedar dicabut untuk direvisi.
Ketua Mahupiki yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor Dr Yenti Garnasih SH MH mengemukakan aturan itu membuat rakyat bingung.
Selain itu menimbulkan banyak pertanyaan dan beragam dugaan di publik yang mengganggu kewibawaan pemerintah. "Apakah ini semacam tes untuk melihat reaksi masyarakat," katanya.
Mengingat persoalan ganja dilarang oleh peraturan setingkat undang undang, maka tidak mungkin dianulir oleh keputusan menteri.
Baca Juga:Rabu Besok, PN Jaksel Gelar Sidang Perdana Dwi Sasono
Atas dasar itulah, Mahupiki mengingatkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tidak sekedar dicabut sementara lalu direvisi tetapi dibatalkan.