"Pertama kali waktu itu bikin alat musik biola," ujar Adang kepada Suara.com, Selasa (2/3/2021).
Setahun kemudian bakat Adang mulai tercium, sehingga ia diikusertakan dalam pameran Java Jazz Festival oleh Kementerian Perdagangan. Dari sana, jalan komersil produknya mulai terbuka.
Adang disantroni warga negara Jepang dan menanyakan biola yang berbahan baku dari bambu. Namun saat itu Adang belum percaya diri. Namun setahun kemudian orang Jepang tersebut menghubunginya lagi.
"Tahun 2013 waktu orang Jepang datang ka Bandung sengaja beli biola harga Rp 3 juta," ujar Adang.
Baca Juga:Dampak Pandemi, Pengrajin Anyaman Bambu: 10 Hari Hanya Bisa Buat 5 Biji
Setelah itu ia mulai serius menjadikan usaha produksi berbahan dasar bambu hingga membentuk Indonesia Bamboo Community (IBC), dengan harapan karnyanya bisa menembus pasar internasional.
Ia pun bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk melakukan riset. Setahun kemudian usahanya pun mulai berkembang dengan berbagai kerajinan unik berbahan dasar bambu.
Dari mulai biola, gitar, bass hingga drum. Produksnya langsung masuk pasar internasional dan ikut dalam bergbagai pameran internaisonal. Negara-negara yang dari awal menggaetnya adalah Jepang, Malayasia hingga Rumania.
Pundi-pundi rupiah yang didapatkannya pun mulai naik drastis. Omzet terbesar yang didapatnya mencapai Rp 250 juta ketika menerima order dari Malayasia. Sementara omzet rata-rata kisaran Rp 50-100 juta per bulan.
"Saya juga kan produksi set alat makan seperti sendok, garpu harganya Rp 40 ribu. Termasal drum Rp 35 juta," terang Adang.
Baca Juga:Bentrok Geng Motor di KBB, Polisi Tetapkan Lima Orang Tersangka
Bisnis produksi kerajinan bambunya mulai terganggu setelah pandemi Covid-19 mewabah. Semua orderan yang disepakati dengan berbagai negara akhirnya di-cancel akibat kebijakan lockdown.