Dinilai Memonetasi Perkawinan Anak, Sinetron Suara Hati Istri Panen Kecaman

KOMPAKS menuntut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk menginvestigasi tayangan tersebut.

Ari Syahril Ramadhan
Rabu, 02 Juni 2021 | 14:30 WIB
Dinilai Memonetasi Perkawinan Anak, Sinetron Suara Hati Istri Panen Kecaman
Potret di balik layar pemain Suara Hati Istri 'Zahra'. [Instagram/mettapermadi89]

SuaraJabar.id - Sinetron "Suara Hati Istri” yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta mendapat kecaman dari banyak pihak.

Warganet misalnya, mereka menyayangkan adanya adegan dewasa yang harus diperankan oleh pemeran perempuan yang masih berusia 15 tahun, yakni Lea Ciarachel.

Terkini, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengecam keras penayangan sinetron Suara Hati Istri. Mereka menilai, sinetron itu melanggengkan dan memonetisasi praktik perkawinan anak.

"Dengan ini mengecam keras tindak memalukan dan tidak pantas atas penayangan sinetron 'Suara Hati Istri' yang mempertontonkan pemeran Zahra yang diperankan LCF seorang aktris berusia anak 15 tahun, sebagai karakter berusia 17 tahun yang menjadi istri ketiga dari lelaki berusia 39 tahun," ujar perwakilan KOMPAKS Riska Carolina dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (2/6/2021).

Baca Juga:Sinetron Suara Hati Istri Diprotes Warganet, Pak Tirta: Skip Aja Atau Nonton Dari Awal!

Sinetron “Suara Hati Istri” menurut KOMPAKS telah mempertontonkan jalan cerita, karakter, dan adegan yang mendukung dan melanggengkan praktik perkawinan anak, bahkan kekerasan seksual terhadap anak.

Tindakan tersebut ditambah dengan promosi yang dilakukan melalui kanal Youtube salah satu televisi swasta yakni penggunaan judul pemancing klik pada salah satu episodenya: “Malam Pertama Zahra dan Pak Tirta! Istri Pertama & Kedua Panas? | Mega Series SHI - Zahra Episode 3”

Riska menjelaskan tayangan dan promosi dari sinetron ini telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditujukan untuk kegiatan penyelenggaraan penyiaran baik TV maupun radio di Indonesia, utamanya Pasal 14 Ayat 2 mengenai Perlindungan Anak yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.”

Dia menegaskan kembali usia pernikahan legal di Indonesia adalah 19 tahun untuk perempuan maupun laki-laki sesuai UU Perkawinan No. 16/2019 atas perubahan UU No. 1/1974. Selain itu, UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan usia anak adalah sampai dengan 18 tahun.

Selain itu dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021 mencatat adanya peningkatan ekstrem angka perkawinan hingga 3x lipat pada 2020. Berdasarkan data Badan Pengadilan Agama (BADILAG), dari 23.126 kasus perkawinan anak (dispensasi nikah) di tahun 2019, naik tajam menjadi 64.211 kasus pada 2020.

Baca Juga:Zahra Masih di Bawah Umur, Suara Hati Istri Diprotes Zaskia Adya Mecca

Menurut dia, perkawinan anak memiliki berdampak buruk pada anak perempuan, baik untuk perkembangan psikis anak, maupun dampak biologis yang bisa mengancam kesehatan bahkan menyebabkan kematian.

"Melihat berbagai fakta dan realita yang dialami korban perkawinan anak, sungguh miris ketika sebuah sinetron yang ditayangkan melalui saluran televisi nasional telah mendukung, melanggengkan, dan bahkan mendapatkan keuntungan (monetisasi) dari isu perkawinan anak alih-alih melakukan hal-hal yang dapat berkontribusi pada penghapusan kekerasan berbasis gender yang satu ini," kata Riska.

Atas situasi penayangan sinetron “Suara Hati Istri” yang mendukung dan melanggengkan praktik perkawinan anak, KOMPAKS mengecam keras dan menuntut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menghentikan sementara tayangan tersebut dan memberikan sanksi berat pada rumah produksi sinetron tersebut dan jaringan televisi yang memproduksi dan menayangkannya.

Kedua, menuntut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk menginvestigasi tayangan tersebut dan berikan perlindungan kepada aktris anak yang terlibat dalam produksi tayangan tersebut, baik atas dampak produksi yang telah berlangsung maupun dampak dari pemberitaan media

Ketiga, menuntut Lembaga Sensor Film (LSF) untuk bekerja secara kritis, benar, dan bertanggung jawab atas penayangan sinetron tersebut. Dan kepada jaringan televisi swasta dan rumah produksi untuk menghentikan sementara penayangannya, serta menarik konten promosi yang menayangkan cuplikan adegan-adegan dari sinetron tersebut dari kanal platform video maupun platform lain yang digunakan sebagai kanal promosi

"Sebagai gantinya, bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat dengan memproduksi dan menayangkan konten edukatif terkait dengan isu perkawinan anak yang tidak melanggengkan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender tersebut," ujar Riska.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) adalah jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari 101 platform media sosial, kolektif maupun organisasi dengan isu kemanusiaan dan keberagaman, terutama kekerasan seksual. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini