Kawal Penetapan Upah Minimum 2022, Buruh Jabar akan Gelar Aksi Besar-besaran

"Upah minimum fakta di lapangan itu jadi upah maksimum apalagi di kondisi pandemi banyak alasan," ujarnya.

Ari Syahril Ramadhan
Jum'at, 15 Oktober 2021 | 17:42 WIB
Kawal Penetapan Upah Minimum 2022, Buruh Jabar akan Gelar Aksi Besar-besaran
ILUSTRASi aksi buruh. [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Ketidakpastian itu menurut Ajat patut dikhawatirkan. Terlebih, tidak semua kota kabupaten memiliki dewan pengupahan, di antaranya seperti Banjar, Ciamis, Pangandaran, Indramayu atau Majalengka. Dengan begitu, dikhawatirkan akan ada ketimpangan kenaikan upah antar daerah.

"Karena sifatnya yang hanya 'dapat', takutnya gubernur tidak menaikkan UMK karena tidak ada rekomendasi dari kota kabupaten tersebut," jelasnya.

"Kalau begitu nanti bisa saja kenaikan itu tidak merata. Ada daerah yang naik ada yang tidak. Jadi, kami usulkan, 6,5 persen itu minimal di seluruh kota kabupaten," jelasnya.

Selain itu, kondisi Provinsi Jabar terkait UMP pun berbeda dengan kondisi di beberapa provinsi lain, misalnya Provinsi DKI Jakarta, Yogyakarta, Bali atau Aceh yang merujuk pada UMP.

Baca Juga:Bacok Pencuri Ikan, Pakar Hukum Undip Sebut Mbah Minto Warga Demak Itu Bisa Bebas

"Kalau di Jabar UMP kan tidak ada fungsi dan peran karena tidak ada yang mau pakai itu. Beda seperti di Provinsi DKI, Bali, Aceh, Yogyakarta, itu rata-rata kan pakai UMP. Tapi kalau Jabar kan lebih pakai UMK," jelasnya.

"Sementara, sikap kami menolak apabila dewan pengupahan kota kabupaten mengacu pada PP 36, kita tolak, WO (walk out). Tapi kalau kemasannya menetapkan UMK naik minimal sekecil-kecilnya di angka 6,5 persen kita terima," jelasnya.

Ajat menegaskan, kenaikan upah kerap menjadi tututan masyarakat buruh pekerja sebab ini menyangkut kesejahteraan dan kelayakan hidup. Penting juga sebagai patokan daya beli masyarakat, pada gilirannya bakal memutar roda ekonomi secara nasional.

Dalam sejarah pergerakan masyarakat buruh pekerja, kenaikan upah itu sama sekali tidak datang dari belas kasih pemerintah maupun kelompok pemodal, melainkan diraih dari serangkaian tuntutan dan perjuangan kelas pekerja yang dilakukan secara berkelanjutan dan bersama-sama.

"Kenaikan upah tidak ujug-ujug, harus ada tuntutan dan proses pengawalan dari masyarakat buruh pekerja. Jangan salah anggapan, kenaikan upah itu sama sekali tidak datang dari pemerintah atau pengusaha, tapi itu dari perjuangan buruh sendiri, perjuangan serikat buruh," tegasnya.

Baca Juga:Pemerintah Jawa Barat Siapkan Bonus Ratusan Juta bagi Atlet Berprestasi di PON Papua

Dalam prosesnya, desakan ini harus dikawal bersama. Oleh karena itu, SBSI '92 pun siap mengawal dengan serikat buruh pekerja lainnya terkait kenaikan upah ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak