Jejak Menak Islam di Penemuan Makam Kuno di Ciracap Sukabumi

Secara umum, menak pada masa tersebut menganut falsafah gelar Mataraman yang berbunyi Ing Alogo Sayidin Panotogomo yaitu gelar Raja Mataram Islam pertama.

Ari Syahril Ramadhan
Senin, 25 Juli 2022 | 19:22 WIB
Jejak Menak Islam di Penemuan Makam Kuno di Ciracap Sukabumi
Peneliti Niskala Institute mulai meneliti makam kuno yang ditemukan di TPU Dumuskadu di Kampung Tangkolo, Desa Purwasedar, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Rabu (6/7/2022). [Sukabumiupdate.com/Ragil Gilang]

Irman mengatakan beberapa tulisan di batu nisan makam kuno tersebut memang kurang jelas untuk ditafsirkan. Misal, ada tulisan ISYU 1912 yang kurang lazim digunakan karena menggunakan huruf Y. Biasanya, sesuai ejaan Van Ophuijsen di masa tersebut ditulis sebagai J (meski bunyinya Y). Beberapa nama dan tahun menyiratkan nama seperti Nyai Sujiyad yang meninggal di bulan Safar tahun 1901.

Kemudian, ada nama Ali Matado yang menurut Irman dibaca Ali Murtadha yang artinya Ali yang diridhoi. Kemudian nama Rukmina yang meninggal tahun 1950 tertulis "titimangsa tilar dunya bani bin abi Rukmina".

Tulisan lain sepertinya penanda, misal tulisan Syimalan, artinya kiri dalam Bahasa arab. Karena dalam ajaran Islam, kuburan dianjurkan mengarah ke kiblat. Begitu juga peziarah diharapkan mengarah kiblat. Sehingga, di wilayah tatar Sunda dan Indonesia pada umumnya, para peziarah berada sebelah kiri kuburan.

"Yang menarik adalah ada tulisan Demang Tilar Dunya Ahad Waharsh Huwa Aa 1944 15. Demang biasanya identik dengan jabatan tinggi di suatu daerah yaitu sebagai kepala distrik atau disebut juga wedana," tutur Irman.

Baca Juga:Ketika Penginjak Al Quran Bertemu Habib yang Tersandung Kasus Narkotika di Dalam Jeruji Besi

Tetapi, demang juga kadang ditujukan pada jabatan di bawahnya yaitu asisten wedana (camat sekarang) yang mengepalai onderdistrik atau setingkat kecamatan saat ini. Dalam laporan De Locomotief (koran zaman Hindia Belanda), Irman mengatakan ada tertulis jabatan Asisten Wedan Ciracap tanggal 5 September 1905 adalah Kanduruan Wiria Dihardja.

"Apakah tulisan yang dibaca Tim Niskala Institute sebagai Waharsh Huwa itu sebenarnya kurang jelas dan semestinya terbaca Wiradiharja? Mengingat ada nisan lain yang tertulis Wuur 1912 apakah itu maksdunya Wira? Karena nama orang tua kadang tersemat juga pada nama anaknya. Ini sangat menarik untuk digali oleh para filolog," ucap Irman.

Hal menarik lainnya adalah tertulis Pekuburan dari tiga layal bulannya Rajab tanggal 21 1909. Irman mempertanyakan apakah ada kemungkinan semestinya terbaca Pekuburan dari tiga layon (jasad)? Sebab, di beberapa kuburan lumrah ada yang disatukan. Ini menarik karena ada beberapa nisan tanpa nama prasasti. Biasanya, penanda nisan batu tanpa nama digunakan menak zaman dulu sebelum mengenal nisan bertulis.

Para menak zaman dulu cukup meletakkan batu hitam sebagai penanda supaya kuburan tidak ditumpuk jika ada yang hendak dikuburkan. Mungkin sesudah dikenal nisan bertulis, mereka akhirnya menuliskan mengenai tiga jasad yang berada di kuburan karena tidak mengenal namanya. "Namun harus ada kajian lebih lanjut," ujar Irman.

Ciracap Era Kononial

Baca Juga:Dua Mojang Kota Paris Jualan Es Cendol

Secara umum, wilayah Ciracap, Kabupaten Sukabumi, merupakan salah satu tempat yang dieksploitasi pemerintah kolonial, terutama dari hasil perkebunan, di antaranya kopi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak