SuaraJabar.id - Vasektomi yang merupakan usulan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi untuk syarat penerima bansos mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MUI sebelumnya menyatakan bahwa usulan Dedi Mulyadi bahwa Vasektomi syarat penerima bansos di Jawa Barat itu haram. Kini hal itu disoroti oleh Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Iwan Suryawan.
Dia mengusulkan solusi alternatif sebagai pengganti kebijakan kontroversial vasektomi yang sempat diwacanakan menjadi syarat penerima bantuan sosial (bansos) di Jawa Barat.
Menurutnya, permasalahan penyaluran bansos harus diselesaikan dari hulu ke hilir agar tidak menimbulkan polemik baru di masyarakat, sekaligus memastikan keadilan bagi warga miskin yang benar-benar membutuhkan.
Baca Juga:Tawuran dan Game Online Jadi Momok di Cianjur, 30 Siswa Bermasalah Disekolahkan di Barak
Iwan menilai, polemik kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos terjadi karena lemahnya sistem pengelolaan data dan kurangnya edukasi soal keluarga berencana di masyarakat.
Padahal, kata dia, jika sistem pendataan dan pendampingan sudah berjalan baik, angka kemiskinan dan pola pikir miskin bisa ditekan dengan mengesampingkan dulu cara-cara yang ekstrem seperti sterilisasi.
"Niatnya pak Gubernur (Dedi Mulyadi) mungkin baik ingin mengurangi kemiskinan, tapi pengalaman saya di dewan, masalah bansos dan kemiskinan itu kompleks dan ada tahap krusial dari hulu ke hilir, mau cepat bisa, tergantung komitmen Pemprov," katanya, Rabu 7 Mei 2025.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa persentase penduduk miskin di Jawa Barat pada September 2024 mencapai 7,08 persen, turun 0,38 persen dari Maret 2024 dan turun 0,54 persen dari Maret 2023.
Jumlah warga miskin tercatat sebanyak 3,67 juta orang, atau menurun 180 ribu orang dibanding Maret 2024. Meski demikian, Iwan menilai bahwa upaya menurunkan angka kemiskinan tidak bisa ditempuh dengan cara-cara instan yang berpotensi melanggar hak asasi.
Baca Juga:BPS Ungkap Pengangguran di Jabar Naik Jadi 1,81 Juta Orang, PHK Sumber Masalah Utama?
Iwan menyebut, solusi utama yang perlu ditempuh adalah pembenahan sistem pendataan bansos dari tingkat RT/RW hingga kementerian, saluran pekerjaan yang dapat diakses warga miskin, serta edukasi berkeluarga.
"Saya rasa, vaksetomi sudah ada fatwa, tapi yang penting itu data dulu, buat terobosannya di RT/RW," ujarnya.
Cara pembenahan pertama, Menurut Iwan, RT dan RW bisamenggelar musyawarah bersama warga untuk mendata siapa saja yang benar-benar berhak menerima bantuan.
Data hasil musyawarah tersebut kemudian diumumkan secara terbuka di lingkungan masing-masing, guna mencegah munculnya protes dari warga yang merasa lebih berhak.
Setelah tidak ada koreksi atau protes atas daftar nama penerima bansos, data itu kemudian diteruskan ke kelurahan dan diumumkan kembali melalui media publikasi milik pemerintah seperti videotron atau papan informasi.
Proses ini penting untuk menjaga transparansi dan menghindari kecemburuan sosial akibat adanya warga yang tergolong mampu tetapi tetap menerima bantuan.
Menurut Iwan, salah satu penyebab munculnya keresahan di masyarakat adalah ketidaktepatan sasaran penerima bansos. Banyak kasus di mana warga yang dianggap mampu tetap memperoleh bantuan, sementara yang benar-benar membutuhkan justru terlewatkan.
Oleh karena itu, Iwan menegaskan perlunya verifikasi ulang yang melibatkan partisipasi langsung warga melalui forum RT/RW.
Langkah selanjutnya, kata Iwan, adalah pemetaan ulang terhadap jenis bantuan sosial yang diberikan.
Dengan adanya data yang sudah diverifikasi ulang secara menyeluruh, waktu yang dibutuhkan untuk menyalurkan bantuan seharusnya bisa lebih cepat dan tepat.
"Kenapa harus pendataan RT/RW, kelurahan harus terbuka? Karena di situ masalahnya. Kadang warga, tetangga protes, yang miskin tidak kebagian. Nanti dilempar, itu data dari kementerian, kan inputnya dari RT/RW atau survei. Jadikan saja RT/RW yang bergerak bersepakak dengan warga, ini penting," kata Iwan.
Durasi bantuan, Sistem informasi bansos dan pelatihan kerja khusus warga miskin
Setelah pemetaan dilakukan, pemerintah perlu menetapkan durasi pemberian bansos bagi tiap keluarga, disesuaikan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar dan progres kemandirian ekonominya.
Iwan juga mendorong agar pemerintah menyelaraskan data bansos dengan data program pelatihan kerja dan kewirausahaan. Menurutnya, bantuan sosial tidak bisa diberikan secara terus-menerus tanpa solusi jangka panjang.
Oleh karena itu, warga miskin yang menerima bantuan juga perlu diarahkan ke program pelatihan atau peluang kerja yang sesuai, seperti pekerjaan kasar, pertanian, proyek bangunan, hingga bantuan usaha mikro seperti kuliner dan PKL.
"Kasih durasi, sampai kapan perlu dibantu, kalau seumur hidup, berapa persen yang harus begini? Itu tergantung, data bansos hubungkan dengan sistem informasi konseling berkeluarga dan usaha, di dalamnya termasuk edukasi kesanggupan jumlah anak," katanya.
Agar warga bisa keluar dari lingkaran kemiskinan secara berkelanjutan, Iwan menyarankan agar pemerintah menyiapkan petugas konseling keluarga dan usaha/kerja yang dapat mendampingi warga penerima bantuan.
Petugas ini bertugas memberikan edukasi soal manajemen keuangan, perencanaan keluarga, dan perkembangan usaha warga. Dengan begitu, program bansos tidak hanya bersifat konsumtif tetapi juga mendorong kemandirian.
"Adakan petugas konseling keluarga dan usaha. Mereka yang tempat curhat bapak-bapak rumah tangga dan ibu rumah tangga keluarga miskin dalam usaha dan edukasi berkeluarga, jangan diam, datangi rumah-rumah warga," gagas Iwan.
Kontroversi
Kontroversi kebijakan vasektomi mencuat setelah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan rencana menjadikan KB pria, termasuk vasektomi, sebagai salah satu syarat penerima bansos dalam rapat koordinasi di Depok, 29 April 2025.
Bahkan, Dedi menyebut akan memberikan insentif sebesar Rp 500 ribu bagi warga yang bersedia menjalani vasektomi.
Namun rencana tersebut langsung menuai penolakan dari berbagai pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat menyatakan bahwa vasektomi adalah tindakan haram karena merupakan bentuk sterilisasi permanen.
Ketua MUI Jabar, KH Rahmat Syafei, menegaskan bahwa fatwa tersebut sesuai hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada 2012 di Tasikmalaya. Meski begitu, MUI juga memberi pengecualian dengan syarat ketat.
Komnas HAM pun menyuarakan penolakan. Wakil Ketua Komnas HAM Abdul Haris Semendawai mengatakan bahwa kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos melanggar hak asasi manusia. Ia menegaskan bahwa sterilitas hanya boleh dilakukan secara sukarela, bukan menjadi kewajiban.
Jika diterapkan secara paksa atau menjadi syarat mutlak, maka pemerintah melanggar hak dasar warga untuk memiliki keturunan.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Wihaji juga menegaskan bahwa pemerintah tetap mengikuti fatwa ulama.
Ia menyatakan bahwa meskipun wacana vasektomi mencuat di Jawa Barat, kementeriannya tetap menghormati panduan syariah dari MUI.
Sementara itu, Menteri Sosial menyatakan akan mencermati dengan seksama jika ada syarat tambahan dalam penyaluran bansos karena dapat berdampak luas.
Di sisi lain, Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar juga menolak keras usulan vasektomi sebagai syarat bansos karena harus bersifat kesukarelaan. Di sisi lain, Ia menyatakan selama ini dana bansos yang mencapai Rp 500 triliun disalurkan tanpa sistem yang kokoh dan lebih mengandalkan feeling masing-masing menteri.
Ia menyerukan agar pemerintah lebih fokus membenahi sistem penyaluran bansos dan mengedepankan hak-hak warga miskin.
Dedi Mulyadi kemudian mengklarifikasi bahwa ia tidak mewajibkan vasektomi sebagai syarat mutlak.
Menurutnya, vasektomi hanya salah satu dari banyak opsi program keluarga berencana. Ia menegaskan bahwa pria harus bertanggung jawab atas anak-anaknya dan program KB adalah jalan untuk menekan angka kemiskinan.
Namun, ia membuka kemungkinan alternatif lain yang lebih sesuai dengan norma dan aturan agama.
"Banyak dong alternatif lain misalnya ya sudah laki-lakinya pakai pengaman programnya, kan karena problem nanti pemerintah nyiapin alat pengamannya, kan enggak ada problem, hanya satu pilihan, kan banyak pilihan berkeluarga berencana," katanya.