-
Dedy Saputra, pengawas BPJN Aceh, menunjukkan dedikasi luar biasa dengan bertahan di zona merah banjir Aceh Tamiang selama sebulan demi memastikan akses jalan nasional terbuka untuk distribusi logistik dan pendidikan.
-
Trauma kehilangan keluarga saat Tsunami 2004 menjadi motivasi utama Dedy untuk membantu sesama korban bencana. Ia mengubah kesedihan masa lalu menjadi kekuatan pengabdian tanpa batas bagi masyarakat dan negara Indonesia.
-
Meskipun harus mengorbankan waktu bersama keluarga, Dedy tetap berkomitmen menjalankan tugasnya. Ia meyakinkan warga terdampak bahwa pemerintah terus bekerja keras memulihkan infrastruktur secara bertahap demi normalisasi kehidupan di Aceh.
SuaraJabar.id - Bencana banjir dan tanah longsor yang menerjang Kabupaten Aceh Tamiang di penghujung tahun 2025 tidak hanya menyisakan kerusakan infrastruktur, tetapi juga trauma mendalam bagi warga.
Namun, di tengah hamparan lumpur dan puing-puing, harapan itu tetap menyala berkat kehadiran sosok-sosok tangguh yang bekerja dalam sunyi.
Salah satu pahlawan tak berjubah itu adalah Dedy Saputra, Pengawas Lapangan PPK 1.5 Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Aceh, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Hampir satu bulan lamanya, Dedy memilih bertahan di zona merah bencana, meninggalkan kenyamanan rumah demi memastikan akses jalan kembali terbuka. Baginya, ini bukan sekadar tugas negara, melainkan panggilan jiwa yang berakar dari luka masa lalu.
Baca Juga:Bencana Sumatera, BRI akan Terus Berkontribusi Bantu Masyarakat Bangkit Kembali
Bagi generasi muda yang mungkin terbiasa dengan kenyamanan Work From Home (WFH) atau kantor ber-AC, realitas kerja Dedy sungguh kontras.
Di lapangan, ia dan timnya harus berjibaku dengan cuaca ekstrem dan medan yang berat. Jam istirahat adalah kemewahan yang langka.
"Sebagai abdi negara tidak ada kata-kata capek. Tidurnya kadang enak, kadang tidak enak. Kadang-kadang kita tidur di bawah lumpur," ujarnya, Sabtu (27/12/2025) kemarin.
Prioritas utamanya sangat jelas: membuka isolasi wilayah. Ia sadar betul bahwa setiap detik keterlambatan pembersihan jalan berarti keterlambatan logistik bagi warga yang kelaparan dan santri yang ingin kembali menuntut ilmu.
"Supaya pengiriman sembako bisa masuk dengan lancar, santri-santri (pesantren) bisa kembali belajar seperti biasa," tegas Dedy.
Baca Juga:Pemkab dan Warga Bogor Galang Dana Rp1,2 Miliar untuk Korban Bencana Sumatera
Di balik ketegarannya memimpin alat berat membelah bukit lumpur, Dedy menyimpan kisah pilu yang menggetarkan hati. Ia adalah saksi hidup sekaligus korban dari dahsyatnya Tsunami Aceh 2004 silam. Bencana tersebut merenggut orang-orang yang paling ia cintai.
"Saya pernah jadi korban tsunami, sampai sekarang masih terbayang-bayang. Bapak ibu, dua orang adik dibawa tsunami, sampai sekarang belum ditemukan,” ucapnya.
Namun, alih-alih larut dalam kesedihan, trauma tersebut ia ubah menjadi kekuatan. Dedy mengerti betul rasanya kehilangan dan ketidakpastian di tengah bencana. Empati inilah yang membuatnya gila kerja demi membantu sesama korban.
“Itulah yang menggerakkan saya untuk membantu. Harus tempur di lapangan walaupun keluarga ditinggalkan sementara," tambahnya.
Pengorbanan Dedy tak berhenti di fisik. Ia harus rela menahan rindu kepada istri dan anaknya. Komunikasi hanya bisa dilakukan sesekali, bergantung pada ketersediaan sinyal dan listrik yang masih belum stabil pascabencana.
"Kalau listrik sudah nyala dan jaringan sudah ada, baru bisa komunikasi, video call. Anak suka manggil papa, terasa terenyuh sendiri," ungkap Dedy.