Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Jum'at, 28 Februari 2020 | 17:21 WIB
Aksi mogok kerja dilakukan di depan perusahaan yang terletak di kawasan industri MM2100. [Suara.com/Yacub Ardiansyah]

SuaraJabar.id - Ratusan buruh PT Alpen Food Industry (AFI) yang memproduksi es krim Aice melakukan aksi mogok kerja. Aksi mogok kerja itu dilakukan di depan perusahaan yang terletak di kawasan industri MM2100.

Koordinator Komite Solidaritas Perjuangan untuk Buruh (KSBP) Aice Indra Permana mengemukakan, ada sekitar 1.300 pekerja yang bernaung di PT AFI, namun yang masuk dalam serikat buruh tersebut itu hanya 600 pekerja.

Aksi mogok kerja ini rutin dilakukan selama 24 jam dalam satu bulan. Para pekerja melakukan aksi mogok sesuai dengan shift kerjanya masing-masing.

“Jadi yang melakukan aksi mogok kerja hanya yang tergabung dalam serikat kami. Sisanya masih bekerja,” kata Indra saat ditemui Suara.com, Jumat (28/2/2020).

Baca Juga: Buruh Hamil Dieksploitasi, Pekerja Pabrik Es Krim Aice Mogok Kerja

Indra menjelaskan, aksi mogok kerja ditengarai setelah gagalnya perundingan yang telah berlangsung sejak tahun 2019. Permasalahan lainnya yang membuat buruh resah adalah kondisi kerja yang tidak memadai, penggunaan buruh kontrak dan buruh wanita hamil yang dipekerjakan malam hari.

“Soal buruh wanita hamil menyebabkan tingginya kasus keguguran dan kematian bayi yang baru lahir,” katanya.

Dalam pendataan di lingkungan serikat pekerjanya saja, telah terjadi 20 kasus kematian bayi maupun keguguran dari total buruh perempuan dalam serikat pekerjanya sebanyak 359. Kasus itu terjadi pada periode tahun 2019 saja.

“Jika digabung dengan buruh yang tidak masuk serikat jumlah itu bisa lebih,” ujar dia.

Indra juga mengemukakan soal sulitnya buruh perempuan untuk mengambil cuti haid. Begitu juga untuk mengambil izin atau mengurus izin sakit. Lantaran, kata dia, PT AFI menyediakan klinik dan dokter secara mandiri yang sering sekali memiliki diagnosa sendiri.

Baca Juga: Buruh Dieksploitasi, Publik Serukan Mogok Makan Es Krim Aice

“Buruh tidak dapat mengambil second opinion dari dokter atau klinik lain, bisa dibayangkan buruh tidak mendapatkan layanan kesehatan secara demokratis karena satu-satunya dokter yang bisa memberikan izin sakit hanya dokter perusahaan saja,” tegasnya.

Load More