Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Senin, 01 Juni 2020 | 18:35 WIB
Ilustrasi New Normal

SuaraJabar.id - Epidemiolog Dicky Budiman meyakini hingga kini belum ada satu kota pun di Indonesia yang siap melakukan New Normal atau adaptasi kehidupan baru (AKB).

Pun dengan Kota Bandung yang hingga saat ini masih memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) proporsional. Lantaran dari hasil evaluasi Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung masih berada di zona kuning, atau cukup berat.

“Belum siap. Bandung belum siap. Belum ada satu wilayah pun yang siap. Sampai saaat ini belum ada kabupaten kota yang siap,” ujarnya seperti dilansir Ayobandung.com-jaringan Suara.com pada Senin (1/6/2020).

Dicky mengemukakan, pernyataannya tersebut berdasar dari berbagai indikator yang ada. Ia mengungkapkan, sebenarnya WHO telah merilis pedoman pelaksanaan New Normal. Namun, dia mengemukakan ada beberapa indikator yang harus dipenuhi jika akan melaksanakan New Normal.

Baca Juga: 23 Mal di Bandung Minta Segera Dibuka

“Sebetulnya WHO secara umum sudah mengeluarkan kriteria. Kita bisa menerapkan new normal bila mana yaitu pertama dari sisi epidemiologi. Ada dari sisi angka repoduksi di mana itu harus di bawah 1, jumlah kasus barunya paling ideal 0 kalau mau bertahap minimal berkurang setengahnya, nggak ada kematian akibat Covid-19. Itu dari sisi epidemiologi,” kata kandidat doktor di Griffith University Australia itu.

Selain dari segi epidemiologi, indikator intervensi juga wajib diperhatikan. Hal tersebut meliputi pengetesan penyebaran penyakit, pelacakan penyakit hingga kesiapan aturan, sarana, dan prasarana.

“Dari sisi intervensi, misalnya berapa cakupan testingnya. Tidak boleh menurun jumlah testingnya, minimal sama atau bagusnya meningkat dan (dilakukan) dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Jangan sampai dikatakan kasus menurun karena testing menurun, berarti tidak valid,” katanya.

Masih menurutnya, yang tak kalah penting, merupakan partisipasi aktif masyarakat untuk menghentikan penularan Covid-19. Sebab, dia menilai partisipasi menjadi kunci penerapan New Normal.

“WHO juga menyebutkan partisipasi aktif dan pemahaman dari masyarkat. Sejauh mana masyarakat memahami new normal, itu harus dari individu masyarakat."

Baca Juga: Mulai Sabtu 30 Mei, Tempat Ibadah di Kota Bandung Dibuka Lagi

Ia menjelaskan, New Normal di level masyarakat menjadi hal mendasar. Ada dua level New Normal menurut pria asli Bandung itu, yakni AKB di level individu dan level instansi. Level kedua tidak akan berhasil jika level pertama belum sempurna.

“Pertama individu dan masyarakat, artinya orang perorang. Ini bisa dilakukan sejak awal, edukasi dan sosialisasi sejak awal, sejak pandemi itu terjadi, dan tentu ini tidak perlu menunggu kriteria apapun,” katanya.

Dijelaskannya, untuk tataran New Normal individu harus sampai pada tahap perubahan perilaku. Masyarakat perlu terbiasa dengan protokol kesehatan umum, seperti mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, tidak pergi kemana pun jika tidak diperlukan, dan apapun yang diperlukan untuk mencegah penularan.

Sedangkan untuk Level kedua, New Normal yang diterapkan di ruang-ruang publik, seperti tempat ibadah, kantor, transportasi publik dan pusat perbelanjaan.

Pusat perbelanjaan bisa saja menerapkan protokol kesehatan, misalnya melarang masuk pengunjung yang demam, tidak memakai masker, dan masuk dengan bergerombol. Dicky menambahkan, bila pada level individu sudah tertanam pemahaman, masyarakat akan pergi ke mal, jika hanya ada keperluan yang sangat penting, dan tidak pergi ke sana jika tidak mendesak.

“Kalau ini tidak terbangun, dia mau kongkow, window shopping, jalan ke mal, karena dia tidak paham belum menerapkan new normal individu. Karena belum paham, ya malnya rame lagi, walaupun diatur oleh pemerintahnya atau manajemen, dengan banyaknya orag akan tetap jadi corwded. Artinya ini memerlukan tahapan dari sebelumnya pada level individu, memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat,” paparnya.

Dia juga mengatakan, riset WHO membuktikan peran aktif masyarakat yang menerapkan perubahan perilaku ini bisa berkontribusi hingga 80 persen dalam pengendalian pandremi.

“Besar sekali itu 80 persen. Kontribusi ini hanya bsa terjadi jika masyarakat paham."

Load More