Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Rabu, 14 Oktober 2020 | 10:49 WIB
Ilustrasi Kota Mati

SuaraJabar.id - Suasana di Kampung Baeud, Desa Samida, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut seketika berubah menjadi mencekam pasca pemberlakuan karantina di dua Rukun Warga (RW) di kampung itu.

Dua RW di Kampung Baeud dikarantina setelah seorang warganya yang pulang dari Banten dinyatakan positif Covid-19. Setelah itu menyusul tujuh warga lain yang dinyatakan terinfeksi Covid-19.

Baeud seketika berubah seperti kampung mati. Jalanan kampung jadi sepi, pasalnya semua warga memilih berdiam diri di rumah.

Kegiatan ekonomi warga pun jadi terbatas, pedagang dan perajin tak boleh lagi berjualan keluar kampung. Akibatnya aktivitas ekonomi warga pun terhambat.

Baca Juga: Aktivis Anti Masker Jadi Tersangka Jemput Paksa Jenazah Covid-19

Sekretaris Desa Samida Bambang menuturkan, di luar dampak ekonomi yang bisa dihitung, ada dampak lain dari Covid-19 yang pengaruhnya lebih besar menyangkut psikologis warga Baeud dan warga luar Baeud.

"Warga luar Kampung Baeud jadi takut dan tidak mau berhubungan dengan kami. Padahal masa karantina telah selesai," ujar Bambang pada Ayobandung.com-jaringan Suara.com beberapa waktu lalu.

Karena diskriminasi ini, pedagang asal Kampung Baeud sempat kesulitan saat berjualan. Selain warga asli, diskriminasi juga terjadi pada perangkat Desa Samida.

Bambang mengatakan, kondisi ini membuat ia dan warga Kampung Baeud merasa tidak nyaman. Lantaran diskriminasi tersebut sering berujung pada fitnah yang menyakitkan hati.

"Sering ada warga luar yang bilang, jangan gaul sama warga Baeud, nanti tertular corona," ujar Bambang.

Baca Juga: Program Perubahan Perilaku, Sulsel Masih Butuh 172 Jurnalis

Beruntung Kampung Baeud cepat pulih dari status zona hitam, dan telah kembali menjadi zona hijau, sehingga lambat laun warga luar mulai bisa menerima warga Baeud.

Kepala Kampung Pasir Ujang Syarifudin membenarkan sempat terjadinya diskriminasi terhadap warga Kampung Baeud. Ia mengakui diskriminasi tersebut muncul karena rasa takut tertular Covid-19.

Bahkan perasaan takut itu pernah ia rasakan sendiri. Namun statusnya sebagai perangkat desa membuat Ujang harus ikut membantu warga Baeud menjalani proses karantina.

"Ya saya juga takut tertular. Tapi karena saya bagian dari Tim Satgas Covid-19 di Desa Samida, mau tidak mau saya harus berjaga di Posko dan membantu warga Baeud memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujarnya.

Namun seiring berjalannya waktu Ujang melihat Covid-19 tidak berdampak fatal bagi kesehatan warga Baeud. Buktinya dari delapan warga yang positif Covid-19, semuanya berhasil sembuh kembali. Maka lambat laun rasa takutnya pun hilang.

Sementara itu, pedagang alat-alat rumah tangga di RT3 RW1 Kampung Baeud, Cucu (52) menuturkan, meski sudah memasuki masa Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) warungnya masib sepi pengunjung. Jarang sekali ada pembeli yang mau mampir membeli barang dagangannya.

"Ya wajar, gara-gara pandemi kan orang-orang jadi tidak punya uang, jadi belanja juga jarang," katanya.

Sebelumnya, Cucu dan suami berjualan sambil keliling desa. Suaminya bahkan mendapat pelanggan dari luar Kampung Baeud.

Namun setelah karantina, Cucu dan suami hanya bisa berjualan di warung. Ia berharap, pandemi segera berakhir sehingga aktivitas berjualannya bisa kembali normal.

Load More