Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Senin, 26 Oktober 2020 | 17:05 WIB
Aksi tolak UU Ciptaker di depan Gedung DPRD Jabar, Kota Bandung, Selasa (6/10/2020). [Emi L Palau/Suarajabar.id]

SuaraJabar.id - 28 Oktober 1928 lalu, pemuda di zaman perjuangan kemerdekaan berikrar untuk mengusir penjajah meski harus mengorbankan nyawa. Tujuannya jelas, agar mereka dapat hidup merdeka dan bisa menentukan masa depan mereka sendiri.

Tapi tahun ini, sebagian pemuda di era milenial berikrar untuk bergabung bersama buruh dan elemen rakyat lainnya untuk menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja. Mengapa? Karena mereka menganggap UU Cipta Kerja sebagai bentuk penjajahan baru.

"Menyerukan buat pemuda-mahasiswa turun lagi bersama buruh dan tani," ujar Alvie dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung Raya kepada Suarajabar.id, Senin (26/10/2020).

Alvie mengimbau pemuda dan mahasiswa tidak melakukan aksi sendiri-sendiri. Ia juga meminta pemuda dan mahasiswa dapat tunduk pada komando buruh.

Baca Juga: Uji Materi UU Cipta Kerja, Sekjen MUI ke MK: Buktikan Independensi!

"Jangan aksi sendirian. Karena kalo aksi sendirian, gak akan berdampak dan berefek apa-apa. Yang bisa memberikan dampak signifikan terhadap negara itu buruh dan tani soalnya, bukan pemuda-mahasiswa," tegasnya.

Sebelumnya, Ijal, Penanggung Jawab Fraksi Pemuda, Mahasiswa, dan Pelajar Forum Rakyat Membatalkan Omnibus Law (FORMO) mengatakan, ada beberapa hal yang mendorong pemuda untuk turun ke jalan.

Pertama kata dia, sebagian besar pemuda, mahasiswa hingga pelajar yang turun ke jalan memiliki orang tua yang bakal terimbas langsung Omnibus Law.

"Sebagian besar mahasiswa dan pelajar mempunyai orang tua yg notabene merupakan kelas buruh dan kaum tani, dua sektor itu yg paling terdampak Omnibus Law," ujar Ijal kepada Suarajabar.id, belum lama ini.

Kedua lanjut dia, di dalam pasal 65 UU Cipta Kerja versi 812 halaman mengatur mengenai liberalisasi pendidikan. Ini jelas berpengaruh terhadap nasib pelajar dan mahasiswa.

Baca Juga: KPK Kirim Terpidana Rahadian Azhar ke Lapas Sukamiskin Bandung

"Institusi pendidikan akan diberikan legalitas yang sama dengan legalitas pengadaan izin berusaha, dengan demikian lembaga atau institusi pendidikan akan berstatus perusahaan, ini kan bentuk komersialisasi pendidikan," tegasnya.

Pihaknya juga menilai Omnibus Law melegalkan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Salah satunya pemberlakuan magang selama dua semester tanpa mendapatkan upah bagi mahasiswa.

"Ini juga seperti menunjukkan bahwa institusi pendidikan menjadi institusi yang mereproduksi tenaga kerja cadangan," ungkapnya.

Load More