SuaraJabar.id - Buruh Jawa Barat akan menggelar aksi di depan Gedung Sate, Kota Bandung Selasa (17/11/2020) hari ini. Mereka akan menuntut Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menaikan upah minimum 2021.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat, Roy Jinto mengungkapkan sekitar 16 serikat buruh akan turun untuk mempertanyakan sikap Pemprov Jabar mengenai tuntutan revisi perihal kenaikan UMP 2021. Pihaknya menuntut agar Gubernur tetap menaikan upah minum sesuai dengan tuntutan sebesar 8.82 persen.
“Mengenai penetapan UMSK Kabupaten Karawang, kemudian revisi SK UMP 2021 yang tidak naik, kita minta agar itu direvisi dan tetap dinaikan,” ungkapnya kepada Suarajabar.id, ketika dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Senin (16/11/2020).
“Selanjutnya mengenai upah minum dan UMK yang kita minta dinaikkan 8.82 persen, sampai saat ini menjelang akhir penetapan kan itu tanggal 21 November penetapan, sampai saat ini dari pihak Pemprov Jabar dari Gubernur belum memberikan jawaban mengenai aspirasi yang kemarin kita sampaikan,” imbuhnya.
Roy mengungkapkan aksi hari ini hanya permulaan, jika tidak mendapat tanggapan dari Gubernur, pihaknya akan menggelar aksi besar-besar selama tiga hari berturut-turut dari tanggal 19-21 November 2020. Buruh akan mengawal hingga putusan akhir penetapan UMP 2021.
“Jadi besok itu aksi mempertanyakan hasil audiensi pada tanggal 9 November dengan Gubernur Jabar. Kalau hasilnya tidak memuaskan, maka kita akan lanjut tanggal 19-21 November secara besar-besaran karena itu adalah tiga hari terakhir dalam waktu yang ditentukan UU dalam menetapkan UMK di seluruh Indonesia. Kalau besok ternyata Gubernur tidak merespon buruh,” ungkapnya.
“Tiga hari demo besar-besaran dalam rangka tiga hari terakhir penetapan UMK 2021. Kita akan kawal terus sampai dengan Gubernur menetapkan UMK, menaikkan sesuai dengan tuntutan buruh 8.82 persen,” imbuhnya.
Menurutnya Gubernur tidak boleh serta merta tidak menaikkan upah minimum hanya berdasar pada Surat Edaran (SE) menteri, karena hal tersebut melanggar peraturan perundang-undangan. Ia mengatakan seharusnya Pemrov Jabar melakukan survei di lapangan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan tidak menaikkan upah 2021.
Alasan terkait adanya pandemi Covid-19 tidak bisa menjadi patokan untuk tidak menaikkan upah buruh. Ia mengungkapkan seharusnya pemerintah menghitung berdasar inflasi dan rumus yang sudah diatur dalam Undang-Undang.
Baca Juga: Pandemi Covid-19, Investasi Masuk ke Jabar Malah Naik 6 Kali Lipat
“Kalau UMP dan UMK itu mengenai upah minimum aturannya sudah cukup jelas, diatur dalam UU 13 kemudian PP 78 kemudian permen 18 2020, aturan jelas, jadi bukan berarti dengan adanya Covid-19 kemudian pemerintah boleh melanggar aturan. Jadi kalau sudah disurvei kemudian berdasar aturan memang tidak naik tidak apa-apa, tapi inikan surveinya tidak dilakukan, kemudian hanya gara-gara SE yang dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja, kemudian dinyatakan upah minum tidak naik kan ini tidak adil,” katanya.
“Bahkan SE sendiri bukan produk hukum, bukan aturan hukum, karena sudah ada aturan hukum mengenai upah minum yang harus ditaati, justru pemerintah dalam hal ini Gubernur kalau tidak menetapkan upah minum bertentangan dengan UU pasti salah,” imbuhnya.
Pihak buruh berharap, Pemrov Jabar tetap menaikkan upah minum 2021, hal itu sesuai dengan Permen 18 tahun 2020 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Juga berdasar pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia dan juga Jawa Barat.
Roy menjelaskan saat ini beberapa daerah di Jawa Barat memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Sehingga jika dijumlah, tuntutan buruh agar kenaikan upah minimum sebesar 8.82 persen masih memungkinkan berdasar pada pertumbuhan ekonomi.
“Harapannya tetap naik, dan Pemrov melakukan survei terlebih dahulu baru mengambil keputusan. Kalau kita berdasarkan survei, ada beberapa daerah yang kenaikannya signifikan, kalau berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang saya sebut tadi paling tidak, kenaikan rata-rata kita di Jabar 4-5 persen, tergantung daerahnya. Pertumbuhan ekonomi tiap daerahkan berbeda,” ungkapnya.
“Kita menghitung rata-rata kenaikan 5 tahun terakhir adalah seperti itu, kira-kira 8-9 persen kalau dirata-ratakan, masih memungkinkan kenaikan di Jabar,” imbuhnya.
Kontributor : Emi La Palau
Berita Terkait
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Pilihan
-
Emas Antam Pecah Rekor Lagi, Harganya Tembus Rp 2.095.000 per Gram
-
Pede Tingkat Dewa atau Cuma Sesumbar? Gaya Kepemimpinan Menkeu Baru Bikin Netizen Penasaran
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
Terkini
-
Palu Diketok! Cirebon Timur Jadi Daerah Otonomi Baru, Penantian 20 Tahun Demi Pelayanan Publik
-
Helmy Yahya Dapat Jabatan Baru Lagi di Jawa Barat
-
3 Fakta di Balik Rencana 'Pecah Kongsi' 10 Daerah di Jabar
-
Peta Baru Jawa Barat Siap Terbentuk? Ini Daftar Lengkap 10 Calon Kabupaten yang Antre Mekar
-
Jabar Siap Pecah? Cirebon Timur Resmi Jadi Calon Kabupaten Baru ke-10 Usai Penantian 20 Tahun