Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Rabu, 02 Desember 2020 | 15:32 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual, pelecehan seksual - (Suara.com/Ema Rohimah)

SuaraJabar.id - “Korban diancam fotonya yang tidak memakai jilbab akan disebarluaskan. Kalau tidak mau foto itu disebarkan, maka korban harus menemui pelaku kemudian diminta untuk berhubungan seksual. Ini terjadi selama 4 tahun.”

Dinda, tentu saja bukan nama sebenarnya, siswi SMA di Kota Bandung, sangat ketakutan mendengar dering ponsel pintarnya. Ini disebabkan oleh trauma berkepanjangan yang membuat ia kerap sangat cemas melihat gawainya.

Sesekali tangannya berkeringat, mendadak panik, dan jantung berdegup lebih cepat dari biasanya. Ketakutan berlebihan menyerang psikis remaja belia ini.

Sudah sejak April 2020, sebulan Covid-19 mulai menyebar di Indonesia, Dinda membuat laporan kepada Komini Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk mencari perlindungan atas ancaman demi ancaman dari seorang yang merupakan mantan teman dekat yang ia kenal di internet. Dinda menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO).

“Saya merasa cemas berlebihan, terus berkeringat, kadang-kadang takut yang berlebihan, sedih yang berlebihan, cepat panik,” tutur Dinda, yang diceritakan kembali oleh Koordinator Jaringan Relawan Pendamping Kasus dari SAPA Institute Sugih Hartini kepada Suara.com belum lama ini.

Baca Juga: Gereja Pecat Pendeta Suarbudaya, Diduga Lakukan Kekerasan Seksual

Dinda oleh Komnas Perempuan lalu dirujuk kepada SAPA Institute untuk mempermudah proses konsultasi dan pendampingan. Awalnya Dinda berencana untuk meminta bantuan hukum atas kasus ancaman penyebaran konten intim non-konsensual oleh pelaku. Gambar atau video intim miliknya akan disebar ke media sosial jika ia menolak kembali berhubungan dengan pelaku.

Karena masih di bawah umur, Dinda harus ditemani orang tuanya untuk melakukan pelaporan. Akhirnya jalur hukum diurungkan, karena ia tidak ingin kasusnya diketahui oleh orang tuanya. Dinda pun memilih untuk mendapat bantuan pendampingan psikologis untuk menghilangkan trauma.

Awal perkenalannya dengan pelaku dari aplikasi dating online dengan saling mengirim pesan. Hubungannya berlanjut cukup dekat selama satu tahun. Setelah merasa hal tersebut sudah tidak sehat, Dinda akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan pelaku. Setahun berselang, pelaku muncul kembali dengan ancaman-ancaman penyebaran konten intim jika ia tidak mau berhubungan kembali dengannya.

Dinda berada dalam cengkeraman pelaku dengan penuh ancaman selama setahun, sebelum ia berhasil mengadu kepada Komnas Perempuan. Selama berhubungan ia belum pernah bertemu secara langsung dengan pelaku di dunia nyata, bahkan alamat lengkap dan identitas pelaku tidak diketahui.

Hal serupa dialami Putri, juga bukan nama sebenarnya. Menurut Sugih Hartini yang mendampinginya, mahasiswi di Kota Bandung ini mengalami bentuk-bentuk intimidasi yang hampir sama dengan Dinda. Ia mendapat ancaman penyebaran konten intim di dunia maya jika tidak menuruti pelaku.

Baca Juga: Rifka Annisa: Kekerasan Seksual di Bantul Harus Ditangani Serius

“Yang mereka rasakan saat ini, traumanya sampai pada mendengar dering HP itu takut, melihat HP itu takut. Terus gemeteran. Ada satu orang yang merasa terkena gangguan kesehatan kejiawaan. Mereka sangat takut jika foto atau video itu disebar, tiba-tiba orang tuanya tahu dan takut ketahuan semua orang. Itu yang buat korban sangat takut dan buat panik berlebihan,” ungkap Koordinator Jaringan Relawan Pendamping Kasus di SAPA Institute ini.

Load More