Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Jum'at, 19 Februari 2021 | 13:45 WIB
Salah satu hotel di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang mengalami penurunan okupansi akibat pandemi Covid-19. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]

SuaraJabar.id - Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bandung Barat, Eko Suprianto mengibaratakan bisnis perhotelan di tengah gempuran pandemi Covid-19 ini seperti 'mengulur kematian'.

Bukan tanpa sebab, menurutnya bisnis pariwisata tersebut saat ini konsennya bukan untuk mencari keuntungan lagi, tapi mencari uang hanya untuk mempertahankan usahanya agar tidak sampai gulung tikar.

"Jadi sekarang itu bukan nyari cuan lagi, tapi bagaimana caranya bertahan. Ya, seperti 'mengulur kematian'," ujar Eko kepada Suara.com, Jumat (18/2/2021).

Eko mengungkapkan, okupansi hunian hotel sejak dihantam wabah Covid-19 sangat terdampak di mana ada penurunan konsumen yang cukup drastis. Hal tersebut dibuktikan dengan data yang dimiliki PHRI KBB.

Baca Juga: Emak-emak Untung Besar Berkat Sulap Halaman Rumah Jadi Perkebunan

Periode tahun baru 2020, tepatnya bulan Januari occupancy rate hotel di KBB sebesar 59,8 persen, kemudian di bulan Februari mencapai 55,1 persen dari 10 hotel di wilayah Parongpong dan Lembang, KBB.

Persentasi okupansi hotel tersebut menurun drastis pada periode yang sama setelah Covid-19 mewabah. Termasuk saat malam pergantian tahun, dimana bulan Desember hanya 27,6 persen.

Angkanya semakin terjun bebas memasuki bulan Januari 2021 dimana occupancy rate-nya hanya 15,6 persen dan bulan Februari 2021 hanya 13,4 persen.

"Dari angka itu kan bisa kelihatan dampaknya, okupansinya sangat jauh sekali," ujar Eko.

Untuk bertahan agar tetap eksis di bisnis pariwisata, ungkap Eko, ada beberapa skema yang dilakukan para pengusaha hotel di Bandung Barat. Dari mulai banting harga. Ia mencontohkan, dari harga normal Rp 500 ribu diturunkan jadi Rp 200 ribu.

Baca Juga: 24 Jam Tenggelam di Waduk Saguling, Arip Akhirnya Ditemukan

"Jadinya banting harga dan itu yang dikhawatirkan. Bahaya juga sebetulnya, jadinya nanti orang banderol, gak sehat," katanya.

Ada juga yang melalukan inovasi prodak dan mengalihkan bidikan konsumen. Seperti yang awalnya hanya murni hotel, kemudian nuansanya diubah menjadi cafe.

"Yang rame kan cafe, suasana dibuat cafe karena pasarnya yan ada cafe. Otomatis target pasar pindah," ungkapnya.

Kemudian yang pasti adalah mengurangi jumlah karyawan dan jam kerjanya. Seperti yang dilakukan Eko di bisnis penginapan dan wisatanya, di mana ada pengurangan karyawan yang cukup banyak.

"Saya aja 50 persen habis kontrak gak diperpanjang. Dari 240 karyawan, sekarang tinggal 123 saja. Itupun gak masuk setiap hari, jadi digilir," terangnya.

Eko gak bisa membayangkan jika kondisinya masih seperti ini. Mungkin saja hanya yang punya modal besar yang masih bisa bertahan di bisnis pariwisata ini. Namun, ia masih punya keyakinan kondisi ini akan berangsur membaik.

"Tapi kalau sampai ada hotel yang dijual di sini (KBB) saya belum denger," ucapnya.

Anjloknya okupansi hunian hotel tentunya berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perhotelan di Bandung Barat. Ada penururnan hingga 50 persen dibandingkan tahun 2019.

Tahun 2019, realisasi penerimaan PAD dari hotel mencapai Rp 18.069.667.988. Sementara sepanjang tahun 2020 tercatat hanya Rp 9.892.119.987.

"Tahun 2020 itu menurun lebih dari 50 persen ketimbang 2019," ungkap Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) KBB, Heri Partomo. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]

Load More