SuaraJabar.id - Lazimnya pusara atau kuburan dibuat di Tempat Pemakaman Umum (TPU). Paling tidak berjauhan dengan rumah.
Tapi tidak demikian dengan yang dilakukan warga di Kampung Cikupa, Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Kuburan menghiasi pekarangan rumah-rumah warga di sebagian besar warga RW 08, 14, 15, 16 dan 17 di Desa Cilame. Tradisi menguburkan sanak saudara di dekat rumah tersebut sudah berlangsung sejak akhir abad 19 atau sekitar awal abad 20.
Untuk sebagian orang, mungkin saja keberadaan pusara di tengah-tengah pemukiman terkesan horor bahkan angker. Namun hal itu sama sekali tidak berlaku bagi sebagian warga di wilayah tersebut.
Engkon Ukon (58 tahun), merupakan salah satu warga Kampung Cikupa yang masih menjalankan tradisi turun-temurun itu. Di halaman rumahnya, terlihat ada sejumlah makam orang tua dan para pendahulunya yang berjajar. Samping kanan rumahnya.
"Memang sudah jadi kebiasaan turun-temurun memakamkan keluarga yang sudah meninggal di lahan pribadi. Termasuk untuk saya dan keluarga sejak zamannya kakeknya kakek saya. Mungkin sudah lima generasi," terang Engkon yang juga menjabat sebagai Ketua RW setempat.
Menurut Engkon, tradisi menguburkan anggota keluarga yang telah tiada di halaman rumah agar perawatan pusara pada mendiang lebih terawat. Beda halnya ketika pusara berada dk TPU. Pusaranya kurang terurus.
Biasanya, lanjut Engkon, warga yang masih hidup akan berpesan kepada anak atau keluarganya agar lokasi pemakaman ditempatkan tak jauh dari kediaman keluarga. Meskipun pesan itu terkesan masih tabu, menurut Engkon hal itu sudah lumrah dilakuan warga Kampung Cikupa.
"Nah kita dari keluarga yang masih hidup, engga mau keluarga kita seperti terlantar meskipun sudah meninggal. Dan yang meninggal pun, pasti berpesan ingin dimakamkan di tanah milik mereka," terangnya.
Baca Juga: Bupati Aa Umbara dan Anaknya Ditahan KPK Selama 20 Hari
Engkon menyebut di lingkungannya itu ada TPU, namun kebanyakan warga tetap menjalankan tradisi yang sudah mengakar sejak ratusan tahun lalu itu. Namun ada sebagian jasad yang sudah dipindahkan ke TPU karena tanahnya sudah dibeli oleh Pemerintah KBB.
"Kalau TPU ada, itu untuk satu dusun. Tapi ya memang warga lebih memilih menjalankan tradisi," sebutnya.
Engkon mengaku tidak tahu sampai kapan tradisi itu bisa bertahan di tengah gempuran pembangunan oleh pemda KBB yang terus menggerus lahan-lahan pribadi milik warga, termasuk miliknya.
"Kita seperti dipaksa untuk menjual lahan kita ke pemerintah dengan alasan pembangunan. Sedangkan harga jual lahan kita oleh pemda itu sangat murah, tidak sesuai. Di sisi lain kita punya tradisi seperti ini. Termasuk saya kalau meninggal, sudah berpesan agar dimakamkan di lahan pribadi," tandasnya.
Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki
Berita Terkait
Terpopuler
- Kata-kata Elkan Baggott Curhat ke Jordi Amat: Saat Ini Kan Saya...
- Kata-kata Ivar Jenner Usai Tak Dipanggil Patrick Kluivert ke Timnas Indonesia
- 3 Pemain Keturunan yang Menunggu Diperkenalkan PSSI usai Mauro Zijlstra
- Usai Kena OTT KPK, Beredar Foto Immanuel Ebenezer Terbaring Dengan Alat Bantu Medis
- Tangis Pecah di TV! Lisa Mariana Mohon Ampun ke Istri RK: Bu Cinta, Maaf, Lisa Juga Seorang Istri...
Pilihan
-
5 Fakta Kekalahan Memalukan Manchester City dari Spurs: Rekor 850 Gol Tottenham
-
Rapper Melly Mike Tiba di Riau, Siap Guncang Penutupan Pacu Jalur 2025
-
Hasil Super League: 10 Pemain Persija Jakarta Tahan Malut United 1-1 di JIS
-
7 Rekomendasi HP 2 Jutaan dengan Spesifikasi Premium Pilihan Terbaik Agustus 2025
-
Puluhan Siswa SD di Riau Keracunan MBG: Makanan Basi, Murid Muntah-muntah
Terkini
-
Lewat Program GEMPITA Lestari bersama UI, Bank Mandiri Perkuat Literasi Keuangan
-
Duel Parang Maut di Jasinga: WS Tewas dengan Luka 20 Cm Tembus Paru-paru, AF Jadi Tersangka
-
Kematian WS: Dari Ejekan di Lapangan Bola Jasinga, Berakhir Maut di Ujung Parang
-
IHR-Merdeka Cup 2025, Penonton Bakal Nikmati Kejuaraan Berkuda di Track Tepi Pantai Pangandaran
-
Dari Kurir Jadi Juragan! Dua Warga Bandung Raup Omzet Ratusan Juta