Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Sabtu, 08 Mei 2021 | 15:24 WIB
Berkisar 10 hari menjelang Hari Raya Idulfitri 1442 Hijriah, beberapa mal perbelanjaan di Kota Bandung dikerumuni oleh masyarakat yang akan berburu baju baru. [Ayobandung.com/Gelar Aldi S]

SuaraJabar.id - Kebijakan larangan mudik yang digulirkan pemerintah pada Lebaran 2021 ini dinilai berpotensi menimbulkan kecemburuan di masyarakat.

Pasalnya, pemerintah melarang mudik namun memberikan kelonggaran pada sektor pariwisata dan bisnis.

Tempat wisata di luar zona merah Covid-19 tetap boleh beroperasi di masa larangan mudik. Begitu pula pusat perbelanjaan seperti mal dan pasar.

Pakar hukum dan kebijakan publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menyoroti adanya ketidakkonsistenan pada upaya pemerintah dalam menekan kenaikan kasus Covid-19 dalam momen Idul Fitri 2021. Hal itu pada gilirannya dapat menimbulkan kesan diskriminasi dan memicu kecemburuan sosial.

Baca Juga: Tidak Mudik Tapi Perlu ke Luar Balikpapan, Ini Syarat Buat Surat Perjalanan

"Pariwisata dibolehkan, mal dan pasar dibolehkan. Itu kan bisa membuat masyarakat merasa tidak adil. Sementara mudik menjadi kegiatan yang dianggap sebagai ritual. Bukan hanya sekadar temu kangen. Itu bagian dari ritualitas mereka (masyarakat) juga," kata Asep dikutip dari Ayobandung.com-jejaring Suara.com, Sabtu (8/5/2021).

Tradisi mudik untuk bertemu keluarga yang sudah menubuh di sebagian besar masyarakat Indonesia, ditinjau Asep dapat berdampak kepada psikis dari orang-orang yang terbiasa melaksanakan tradisi itu, terutama jika mereka melihat adanya kelonggaran di sektor pariwisata.

"Kalau misalnya dilarang, mereka pasti akan ada problem dengan itu. Ini adalah sebuah kondisi situasi yang tidak mudah. Ada perbedaan yang menimbulkan kecemburuan di dalam perlakuan pemerintah," ujar Asep.

Ia memaparkan, jika memang larangan mudik diberlakukan untuk menekan penyebaran virus, alangkah lebih baiknya jika tempat pariwisata pun ditutup untuk mencegah adanya kecemburuan. Akan tetapi, masalah baru pun akan timbul. Bagaimana dengan kondisi ekonomi yang akan menurun ketika pariwisata ditutup juga?

Asep mengakui, pertimbangan yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat ini merupakan situasi yang tidak mudah. Di satu sisi, tempat pariwisata yang masih dibuka sementara mudik dilaran bisa jadi menyebabkan kecemburuan. Namun, jika sektor pariwisata ditutup sepenuhnya pun akan ada dampak yang cukup besar dalam sektor ekonomi.

Baca Juga: Dilarang Berlayar, Pengusaha Kapal di Rasau Jaya Minta Maaf ke Penumpang

"Kalau ada keberanian untuk (menutup tempat pariwisata) itu bagus. Tapi, problemnya itu adalah bagaimana menanggulangi permasalahan ekonominya dan bagaimana menanggulangi masyarakat yang stress karena tidak bisa silaturahim dan tidak bisa berpiknik," kata Asep.

Terkait dengan problematika yang timbul dari pertimbangan yang terkesan "serba salah" itu, Asep pun menekankan pentingnya langkah antisipasi ketika kenaikan kasus positif tetap terjadi. Dengan kata lain, Asep mengimbau supaya pemerintah dan masyarakat bisa lebih fokus ke persoalan penanggulangannya, bukan hanya fokus ke penyekatan aktivitasnya.

"Jadi singkatnya begini, dengan tidak konsistennya kebijakan dalam menekan Covid dan tumbuhnya kesan diskriminatif daei kebijakan ini, pemerintah upayakan untuk meminimalisasi resiko. Meminimalisasi akibat yang bisa ditimbulkan selama masih ada nuansa diskriminatif," ungkap Asep.

Load More