Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Selasa, 08 Juni 2021 | 08:05 WIB
Ketua MUI Kabupaten Cianjur KH. Abdul rauf saat memberikan pandangannya mengenai praktik kawin kontrak di Cianjur, Senin (7/6/2021). [Cianjur Today]

SuaraJabar.id - Langkah Pemerintah Kabupaten Cianjur melarang praktik kawin kontrak mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI Kabupaten Cianjur.

MUI Cianjur menilai, kawin kontrak yang banyak melibatkan turis asing terutama wisatawan dari Timur Tengah bertentangan dengan syariat Islam sehinggal harus dilarang dan dicegah.

Ketua MUI Kabupaten Cianjur, KH Abdul Rauf menjelaskan, Bupati Cianjur Herman Suherman telah meminta pihaknya memberikan pandangan terkait kawin kontrak dalam hukum Islam.

“Makanya dalam rapat kemarin karena di MUI ada komisi fatwa nanti kajiannya seperti apa. Walaupun di pusat sudah ada sebetulnya bahwa untuk saat ini tidak ada lagi kawin kontrak atau mut’ah, dalam Islam itu dilarang,” tuturnya kepada wartawan, Senin (7/6/2021).

Baca Juga: Korupsi Dana Desa, Mantan Kades di Cianjur: Digunakan Untuk Renovasi Rumah

Abdul Rauf menjelaskan, pernikahan atau perkawinan tidak boleh ditentukan jangka waktunya. Sejak pengucapan akad, tidak ada yang sampai menyebutkan batasan waktu.

“Kalau ada batasan waktu itu sudah jelas menyimpang dan tidak sah nikahnya. Makanya otomatis karena tidak ada lagi kawin kontrak, siapapun itu yang melakukannya maka itu zina,” jelas dia.

Maka dari itu, Komisi Fatwa MUI Cianjur sudah memberikan sejumlah pandangan terkait hukum kawin kontrak.

Hingga saat ini, kebijakan larangan kawin kontrak masih dalam tahap penggodokan serta meminta pandangan dari organisasi masyarakat (ormas) Islam lainnya.

“Dulu zaman perang itu ada kawin kontrak, tapi setelah itu Rasul tidak membolehkan lagi tapi masih dilakukan oleh komunitas tertentu jadi masih dianggap berlaku,” jelas dia.

Baca Juga: Dibujuk Dengan Seekor Ayam, Ratusan Lansia Antusias Untuk Divaksin

Banyak kalangan yang mencari pembenaran pribadi terhadap syariat Islam. Abdul Rauf mencontohkan kasus aliran sesat di Cianjur yang tidak mewajibkan shalat. Hal itu dinilai telah mencari pembenaran pribadi.

“Padahal mengatakan tidak wajib terhadap apa yang Allah wajibkan maka murtad. Berbeda dengan orang yang tidak mau shalat karena memang tidak mau bukan tidak mewajibkan,” ucap dia.

Ia mengatakan, ketika ada larangan pasti ada konsekuensi. Namun, hingga kini tahapan penyusunan kebijakan larangan kawin kontrak masih belum pada tahap konsekuennsi. MUI pun bertekad terus membina umat.

“Kami dari MUI terus berupaya mencari cara bagaimana agar bisa membina umat,” tandas dia.

Load More