Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Minggu, 04 Juli 2021 | 11:42 WIB
Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. [Suara.com/Stephanus Aranditio]

SuaraJabar.id - Kabar duka datang dari Nahdlatul Ulama atau NU. Sepanjang pandemi COVID-19 yang berlangsung sejak Maret 2020 hingga Juni 2021, NU telah kehilangan 541 ulama mereka.

Hal ini diungkapkan Koordinator Gusdurian, Alissa Wahid. Ia menyebut, mereka mayoritas wafat karena terpapar COVID-19 dan lainnya mengalami sakit namun tidak sempat mendapat perawatan medis secara maksimal karena rumah sakit kewalahan menangani pasien COVID-19

Bahkan pada Sabtu (3/7/2021) malam masuk tambahan laporan tujuh kiai wafat dalam satu hari. Angka ini terbilang tinggi jika dibandingkan pada September 2020 di mana akumulasi tujuh kematian terjadi dalam interval satu hingga dua minggu.

"Kita menghimpun dari berbagai pihak. Jadi input hanya yang ketahuan ya, hari ini tujuh yang termonitor oleh kita. Baru jam segini, ini udah tujuh gitu. Ini kan dalam satu hari," kata putri sulung Presiden Abdurrahman Wahid tersebut kepada TIMES Indonesia-jejaring Suara.com, Sabtu (3/7/2021) malam.

Baca Juga: Dr Tirta Bongkar Rahasia Warga Baduy Tak Pernah Positif Covid-19

"Kalau bulan September tujuh itu satu minggu, dua minggu, ya ini satu hari. Jadi kenaikannnya sangat drastis," lanjutnya.

Alissa menyebut, data ini dihimpun berbagai elemen meliputi Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU), Gerakan Ayo Mondok, dan Gusdurian.

Alissa mengaku sangat berduka. Memang, tidak semua kiai wafat karena Covid-19. Namun faktanya jika dibandingkan dengan tahun lalu atau bahkan awal Januari 2021 dengan Juni 2021 terdapat perbedaan angka yang cukup besar.

"Jadi tidak bisa memungkiri bahwa pandemi ini ada dan harus mengubah cara berpikir kita. Kalau tidak, kita akan berada pada situasi yang terus sama dan makin memburuk, begitu," ungkap Alissa.

Menurut dia, pandangan warga Nahdliyin dalam menyikapi wabah perlu diubah. Apalagi berdasarkan kasus tersebut, para kiai dan para bu nyai sepuh yang wafat nyaris tanpa mobilitas tinggi. Akan tetapi mengapa mereka masih terpapar Covid-19? Dari mana mereka terpapar?

Baca Juga: Profil Jane Shalimar yang Meninggal Dunia Saat Berjuang Melawan Covid-19

"Harus ada yang kita ubah, kalau nggak kita akan lebih banyak kehilangan kiai, begitu. Cara berpikir kita harus kita ubah, kita harus melindungi beliau-beliau," jelasnya.

Kemudian kepada para muda-mudi dengan mobilitas tinggi, Alissa berpesan agar mereka tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan.

"Karena yang muda apalagi sudah vaksin, ketika terpapar virus Corona ini memang aman. Tapi, kita bisa menularkan kepada yang sepuh-sepuh. Daya tahan mereka tidak kuat, begitu. Saya masih mengasumsikan ya, tapi dari awal itu banyak para yai sepuh ini memang tidak tindak-an (tidak bepergian). Berarti kan ada yang bepergian di sekitarnya, ketularan dari itu," bebernya.

Ia juga berharap pemerintah terutama pemerintah kabupaten bersedia untuk membantu pesantren, pondok-pondok, para yai, para nyai, para gus ini untuk lebih memahami tingkat kegentingan situasi pandemi saat ini. Terutama bagi edukasi warga Nahdliyin di level pedesaan.

Alissa menambahkan, pemerintah lokal sangat berperan dalam upaya sosialisasi tersebut. Ia menyontohkan bagaimana mantan Kapolda Jatim Fadil Imran pada tahun lalu turun langsung ke pesantren-pesantren dan Kapolres di tiap wilayah diminta untuk bergerak massif melakukan sosialisasi.

Bahkan, Alissa menginginkan tiga lembaga negara vertikal yakni Polri, TNI dan Kementerian Agama mengambil peran.

"Tidak harus menyelami proses di lokasi yang lebih panjang. Kalau dalam hal ini Kemenag kenapa? Karena Kemenag ini yang mengurusi para tokoh agama," tandasnya.

Menukil Gus Mus : Bedakan Qada dan Qadar
Pemikiran perlu diubah. Alissa melihat masih banyak kalangan pesantren karena relatif memiliki tingkat keikhlasan tinggi sehingga tidak bisa membedakan antara qada dan qadar. Demikian Alissa mengutip pernyataan Gus Mus.

"Kalau istilah Gus Mus itu ya jadi cara pandang ini lho. Cara pandang terhadap pandemi sendiri dan terhadap takdir. Bahwa takdir itu, ya kalau kita sudah berupaya. Tapi kalau kita tidak berupaya, ya itu belum takdir. Nanti itu yang disampaikan Gus Mus ya," ungkapnya.

Ia melihat masih banyak orang pasrah menunggu takdir.

"Ini kan masih banyak itu orang-orang yang ya sudahlah takdirnya, kalau nanti meninggalnya dalam wabah, kan nggak bisa begitu, nggak bisa pakai sudahlah," ujar Alissa yang psikolog ini.

Orang makan karena mereka ingin tetap hidup bersama orang-orang yang mereka cintai. Orang menjaga kesehatannya karena mereka ingin tetap hidup untuk orang-orang yang dicintai.

Tetapi sekarang ini ya kita pakai masker, untuk hidup dan untuk orang-orang yang kita cintai. Bukan kok kita tidak percaya pada takdir. Lha kok kalau cuman begitu ya sudah. Kita patuhi aturan lalu lintas, karena kita ingin tetap hidup dan tidak mencelakai orang lain. Tapi kenapa terhadap si wabah ini kok tidak berupaya itu, duh!

Atau mungkin karena saking capeknya karena sudah 2 tahun menghadapi pandemi?

"Fatigue ya, saya yakin fatigue ada. Tapi yang lebih, bukan fatigue karena saya mengalami dari tahun lalu sampai sekarang masih banyak cara pikir yang tidak berubah yang menganggap ini tidak bahaya, kemudian semuanya ini takdir. Jadi bukan semata-mata fatigue.

Lingkungan Nahdlatul Ulama saya nggak yakin ini (fatigue). Kalau fatigue ya semua, semua akan meningkat begitu ya. Tapi kalau ini kan, trenyuh ya. Aku udah bingung harus sampai dari mana," urai Alissa Wahid.

Load More