Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Kamis, 28 Oktober 2021 | 20:34 WIB
Pengunjung masuk ke dalam Museum WR Supratman di Surabaya, Jawa Timur. [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

SuaraJabar.id - Nama Wage Rudolf Supratman tentunya tidak asing lagi. Ia adalah penggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya yang pertama kalinya diperdengarkan pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 lalu.

Setelah dinyanyikan tahun 1928 di hadapan para peserta Kongres Pemuda Kedua dengan biola, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya.

Setelah Kongres Sumpah Pemuda yang kini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, hidup WR Supratman menjadi tak tentram. Pergerakannya selalu diintai polisi Belanda.

Lagunya menjadi populer dan banyak dinyanyikan pada acara-acara penting. Hingga pada tahun 1930 Pemerintah Hindia Belanda melarang rakyat Indonesia menyanyikan lagu itu di depan umum.

Baca Juga: Kisah Haru dan Nasionalisme Mantan Perakit Bom Solo Saat Hari Sumpah Pemuda

Nyaris seluruh hidupnya selalu berpindah-pindah karena polisi Belanda tak henti-hentinya untuk mengawasi WR Supratman. Salah satu tempat persembunyiannya di Kota Cimahi.

Pengunjung mengambil gambar duplikat biola milik WR Supratman yang dipajang di Museum WR Supratman di Surabaya, Jawa Timur. [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

Tepatnya di Jalan Jalan Warung Contong, Kelurahan Setiamanah, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi yang merupakan rumah orang tuanya yakni Joemeno Kartodikromo, seorang tentara KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti Senen.

"Dalam pelarian tentara Belanda itu sempet tinggal di rumah orang tuanya di Cimahi tahun 1937," kata Budi Harry J, Ketua Umum Yayasan WR Supratman saat dihubungi Suara.com pada Kamis (28/10/2021).

Namun, Wage hanya sebentar tinggal di Cimahi ketika itu. Sebab, keberadaannya mulai terendus polisi Belanda.

Ia pun berpindah ke Pemalang, hingga pada bulan April 1937 ia dibawa oleh kakanya Ny. Rukiyem Supratiyah ke Surabaya dalam keadaan sakit.

Baca Juga: Belanda Juga Laporkan Lonjakan Kasus COVID-19, Tertinggi Sejak Juli

Kedatangan WR Supratman di Surabaya segera diketahui oleh teman-teman seperjuangannya. Mereka datang menjenguk W.R Supratman yang masih lemah setelah sakit. Setelah itu Wage pun tingkap polisi Belanda.

Ia kemudian dilepaskan setelah Belanda tidak dapat menemukan bukti-bukti bahwa dirinya bersimpati kepada Jepang.

"Tertangkapnya memang di Surabaya. (WR) Supratman kan punya sakit paru-paru," terang Budi.

Wage bukan hanya seorang pencipta lagu, ia juga merupakan seorang wartawan dan pejuang lewat cara-caranya.

Budi berharap pada Hari Sumpah Pemuda ini, apa yang dilakukan WR Supratman yang mampu menyatukan para generasi muda dari berbagai suku kala itu bisa menjadi contoh dan dilestarikan generasi masa kini.

"Dengan musik, dengan biola pada zaman yang belum ada teknologi tapi bisa mempersatukan generasi muda dari berbagai bisa ngumpul tanpa adanya WhatsApp. Mereka spontan bisa berkumpul mempersatukan bahwa kita satu bangsa. Itu yang harus lestarikan," imbuh Budi.

Rumah Orang Tua WR Supratman Sudah Dipugar

Rumah orang tua Wage di Kota Cimahi kini sudah dipugar. Meskipun pada masa pendudukan Jepang tahun 1943, rumahnya sempat direnovasi menjadi rumah permanen dengan arsitektur khas Belanda.

Setelah orang tua Wage meninggal dunia, rumah tersebut ditempati oleh kakak Wage, Ngadini.
Selanjutnya rumah ditinggali anak cucu Ngadini, yang terakhir bernama Ucok Soepratman Batubara.

Sejak ditinggali anak cucu Ngadini, rumah dirombak dan dikontrakkan kepada perusahaan waralaba tadi. Bagian muka bangunan yang klasik dirombak menjadi toko.

Sehingga sebagian arsitektur klasiknya hilang. Kini dijadikan sebagai tempat usaha jasa fotocopy.

"Saya mengharapkan memang rumah di Warung Contong bisa jadi cagar budaya. Jadi dari masyarakat Cimahi mengetahui bahwa di Warung Contong ayah WR Supratman tinggal di sana," pungkas Budi.

Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki

Load More