Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Rabu, 03 November 2021 | 15:25 WIB
Teti Sumiati (33) bersama sang suami, Ujang Permana Saufi (46) mengikuti pelatihan kebencanaan untuk perempuan disabilitas di balai Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. [Suara.com/M Dikdik RA]

SuaraJabar.id - Sekira pukul tiga dini hari, Teti Sumiati yang tidur mendekap si buah hati terbangun diusik dingin. Pakaiannya kuyup, tembus ke kulit punggung. Dalam separuh kantuk, ia sempat mengira itu ompol si kecil.

Namun, perempuan disabilitas netra yang kini berusia 33 tahun itu keliru. Ia tak sadar, selagi tidur luapan air sungai ternyata masuk ke kamarnya. Saat Teti turun dari dipan, banjir itu terukur sudah selutut.

Teti pun terperanjat segera memangku sang anak, membawanya ke ruangan lain yang lebih tinggi. Suaminya, Ujang Permana Saufi, 46 tahun, juga seorang disabilitas netra, segera datang menyusul.

Mereka sempat bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, hanya diam menunggu dan berharap air bakal surut. Selang beberapa waktu terdengar suara tetangga, sejurus mereka pun bergabung keluar rumah. Untung air tak terus meluap, singkatnya mereka selamat.

Baca Juga: Masuk Cuaca Ekstrem, Ini Destinasi Wisata Sleman yang Rawan Bencana

Kejadian itu terjadi tiga tahun lalu, Jumat, 23 Februari 2018 di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Sedikitnya, ada 1.359 rumah yang terendam. Tersebar di lima desa yakni Desa Bojong, Desa Majakerta, Desa Majalaya, Desa Sukamaju, dan di Desa Majasetra, wilayah rumah Teti berada.

Teti kembali mengulang kisahnya kepada suara.com saat ia mengikuti kegiatan kewaspadaan bencana bagi kelompok perempuan disabilitas di balai Kecamatan Majalaya, Sabtu, 30 Oktober 2021 lalu.

Peristiwa banjir yang dia alami begitu membekas. Setiap musim penghujan tiba, ia mengaku selalu khawatir. Teti merasa dirinya rentan, karenanya merasa perlu belajar dari pengalaman.

Di lantai balai kecamatan, Teti duduk tertunduk di samping sang suami. Tubuhnya agak serong, telinganya condong ke sumber suara. Gesturnya menandakan ia tengah serius menyimak materi.

Di sana mereka berkumpul dengan beberapa orang dari ragam disabilitas yang berbeda, seperti disabilitas rungu wicara, intelektual, hingga disabilitas daksa. Ada tujuh perempuan disabilitas yang mengikuti kegiatan tersebut. Informasi dari panitia, seharusnya 10 orang namun tiga lain batal hadir karena sakit.

Baca Juga: Buka Suara, Lapas Perempuan Jogja: Yang Laporkan Kami Adalah Napi Baru Dua Bulan di LPP

"Acara seperti ini sangat jarang. Kami baru pertama kali ikut di sini," kata Teti seusai kegiatan.

Load More