Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan | Fakhri Fuadi Muflih
Senin, 30 Mei 2022 | 07:45 WIB
ILUSTRASI - Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat memperkenalkan menteri baru Kabinet Indonesia Maju di Istana Presiden, jakarta, Selasa (22/12/2020). [Tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden]

SuaraJabar.id - Tiga orang menteri di Kabinet Indonesia Maju dinilai memiliki kinerja yang buruk dan pantas dicopot.

Tiga menteri itu adalah Tiga nama yang dimaksud Haris adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto; Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang; dan Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi.

Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Haris Pertama menilai ketiganya tidak memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia lewat kinerjanya.

Sehingga kata dia, dirinya meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot ketiganya.

Baca Juga: Keras! KNPI Minta Jokowi Beri Tiga Menteri Ini Kartu Merah: Mereka Berkinerja Buruk

"Presiden layak berikan kartu merah kepada Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian dengan kinerja buruk", ujar Haris kepada wartawan, Senin (30/5/2022).

Menurut Haris ada beberapa catatan evaluasi pemerintahan bidang perekonomian itu. Mulai dari bahaya ketimpangan rasio orang kaya hingga kelangkaan minyak goreng karena pengelolaan sawit.

“Pertama, terdapat ketimpangan yang terus meningkat selama kurun waktu 2019 hingga saat ini yang sudah sangat membahayakan karena jumlah orang kaya yang terus meningkat. Sementara orang yang menjadi pengangguran baru meningkat,” jelas Haris.

Ketimpangan ini, kata Haris, makin melebar bukan hanya karena pandemi Covid-19, melainkan karena juga kebijakan-kebijakan yang dibuat Menteri bidang ekonomi yang buruk, seperti kebijakan perlindungan sosial yang terlambat diberikan selama pandemi juga sangat mempengaruhi.

"Tercatat, jumlah orang kaya baru naik 65 ribu, tingkat ini rasio khususnya di perkotaan mencapai 0,4", ujar Haris.

Baca Juga: PKS Sodorkan Lamaran Untuk Pilpres 2024, Sandiaga Uno: Sesuai Pesan Presiden Ojo Kesusu

Selanjutnya adalah mengenai pertumbuhan ekonomi yang tidak solid karena di kuartal II 2021 lalu pemerintah terburu-buru melakukan pelonggaran ekonomi. Imbasnya meski ekonomi tumbuh angka penularan pandemi Covid-19 kembali meroket.

Menurutnya, ini juga terjadi karena koordinasi antar kementerian yang kurang baik. Kerja bidang perekonomian dikerjakan bidang lain tapi Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) malah dialihtangankan oleh Kemenko Perekonomian.

"Bukan di bidang yang terkait dengan kesehatan, sehingga terdapat koordinasi yang tidak jelas," katanya lagi.

Ketiga, kelemahan Kemenko bidang perekonomian sangat lemah dalam mengelola dana penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

"Jika kita merujuk pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) terhadap KPCPEN terdapat borok yang luar biasa dengan temuan BPK RI selisih dana KC yang mencapai Rp 146,69 triliun, ini semua uang rakyat loh harus dipertanggungjawabkan", beber Haris.

Keempat, masalah kebijakan kartu Pra Kerja yang tidak tepat sasaran dan rawan penyimpangan. Implementasi kebijakan kartu pra-kerja bermasalah mulai dari sistem pendaftaran yang tidak tepat sasaran.

"Berikutnya fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp 30,8 miliar tidak efisien. Harusnya cukup dengan data NIK KTP, kan NIK sudah terintegrasi dengan data kependudukan lainnya", tuturnya.

Sorotan aspek lainnya adalah pelaksanaan metode program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara. Sebab, hanya metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang baik.

Kelima, adalah persoalan kelangkaan minyak goreng dan kebijakan larangan ekspor CPO yang berimbas pada keresahan masyarakat, petani sawit maupun sektor swasta akibat lemahnya kebijakan yang dikeluarkan oleh jajaran kementerian bidang perekonomian menambah carut marut perekonomian dan politik nasional.

"Larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit", kata Haris.

Ketika sudah ada larangan ekspor kemudian keuntungan perusahaan kelapa sawit jauh berkurang, maka berdampak ke petani. Seharusnya, pembelian TBS ditekan untuk mengatasi masalah profit perusahaan.

"Menteri jajaran bidang perekonomian khususnya Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan sejak awal tidak memiliki pemahaman komprehensif dari rantasi pasok (supply chain) sawit," kata Haris.

"Hal ini terlihat dari dampak kebijakan larangan eskpor CPO kepada petani sawit yang tidak diantisipasi. Situasi ini akan membuat kolaps industri sawit dan yang paling menjerit pasti petani," tambahnya memungkasi.

Load More