32 Difabel Bandung yang Diusir Kemarin, Masih Tidur di Jalanan

Dingin dan terpapar polusi udara.

Pebriansyah Ariefana
Kamis, 16 Januari 2020 | 11:18 WIB
32 Difabel Bandung yang Diusir Kemarin, Masih Tidur di Jalanan
Difabel di Bandung. (AyoBandung)

SuaraJabar.id - Sebanyak 32 orang mahasiswa difabel netra yang diusir dari Balai Wyata Guna sejak Selasa (14/1/2020) malam, masih bertahan menginap di halte. Mereka tidur di trotoar dan badan jalan di depan kantor balai Jalan Padjajaran, Kota Bandung, pada Kamis (16/1/2020).

Mereka akan tetap akan bertahan hingga pemerintah mengubah status balai menjadi panti. Berdasarkan pantauan, para mahasiswa difabel netra dibantu relawan memasang posko dengan memakai terpal sebagai atap untuk menahan panas dan hujan.

Dibagian dalam terpal, terdapat alas yang digunakan untuk duduk dan beristirahat. Terdapat pula beberapa buah selimut yang digunakan untuk beristirahat tengah malam.

"Tadi (malam) masing menginap 32 orang, sekarang dua orang sakit mengalami demam. Disini sudah dua malam tiga hari bertahan," ujar salah seorang mahasiswa Tunanetra, Elda Fahmi (20) saat ditemui di Jalan Padjajaran, Kota Bandung, Kamis pagi.

Baca Juga:Heboh Disabilitas Diusir dari Panti di Bandung, sampai Tidur di Jalan

Menurutnya, barang-barang yang ada di posko sebagian besar berasal dari relawan sementara ia bersama teman-temannya hanya menyiapkan alas duduk sebanyak dua tikar.

"Kondisi malam nginap di sini dengan instrumen jalanan, tidak berhenti polusi, dingin," katanya.

Terkait dengan kedatangan Wakil Gubernur Jabar, Uu Ruhzanul Ulum, Elga mengapresiasi hal tersebut. Namun, pihaknya tetap ingin agar peraturan menteri sosial (permensos) nomor 18 tahun 2018 yang mengubah nomenklatur panti menjadi balai dicabut.

"Jadi yang kami inginkan mengembalikan sosok panti di dalam tunanetra khusus di Wyata Guna," katanya.

Menurutnya, dampak perubahan panti menjadi balai sangat dirasakan oleh mahasiswa difabel netra.

Baca Juga:30 Mahasiswa Disabilitas di Bandung Diusir dari Asrama, Terlantar di Jalan

Saat menjadi panti, ia mengatakan, mahasiswa yang mengambil keterampilan tambahan di Wyata Guna seperti pijat mendapatkan sertifikat nasional. Sementara, saat berubah menjadi balai hanya sertifikat tingkat lokal.

"Dampaknya zaman saat ini, ketika manusia berkembamg maju. Kita tunanetra harus memiliki kompetensi melalui sertifikat yang diakui untuk bekerja. Kalau lokal hanya (bekerja) di panti lokal, kesulitan bersaing," katanya.

Selain itu, selama masih menjadi panti kuota peserta dalam satu tahun bisa menampung 250 orang. Namun, saat berubah menjadi balai hanya diberikan waktu enam bulan dengan maksimal kuota 50 orang anak.

"Kita akan bertahan sampai ada solusi yang tepat dengan permasalahan ini, belum ada lagi dari pemerintah yang ajak dialog," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak