“Masyarakat mulai ngeh (sadar) misalkan dari sisi lingkungan, dulu yang lapor biasanya korban, tapi sekarang tetangga atau keluarga udah berani lapor, artinya lingkungan mulai ngeuh akan isu ini, walau korban tidak berani lapor tapi lingkungan yang justru merespon,” bebernya.
Namun, kata dia, di sisi lain pandemi menjadi semacam triger untuk korban melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya. Berdasarkan keterangan korban, ucap dia, KDRT memang sudah lama terjadi bahkan jauh-jauh hari sebelum adanya pandemi, tapi intensitas kekerasan yang dialami korban memuncak ketika pandemi berlangsung.
“Meski ada kenaikan tapi penambahan korban memang tidak terlalu signifikan, cuma intensitas kekerasan yang dialami korban memang meningkat berdasarkan hasil asesmen terhadap korban. Misalkan korbannya tetap sama (tidak bertambah) tapi memiliki kasus kekerasan sampai beberapa kali, berdasarkan laporan kasus kan itu bertambah,” cetusnya.
KDRT meningkat di masa pandemi
Baca Juga:Bertahan di Tengah Pandemi dengan Bisnis Lukis Sepatu
Baru-baru ini Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan survei tentang dinamika perubahan rumah tangga semasa pandemi akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Teknis pengumpulan data dilakukan secara daring dengan jumlah responden sebanyak 2.285 orang yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia. Suara.com mendapat salinan hasil survei itu dari Yayasan Sapa.
Hasil survei itu salah satunya menyimpulkan perempuan menjadi kelompok paling rentan yang mendapatkan KDRT semasa pandemi, dibandingkan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan peran gender yang disematkan kepada perempuan seperti pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab terbesar dan dibebankan kepada perempuan.
Sejak pandemi, ada sebanyak 10,3 persen responden mengaku hubungan mereka dengan pasangan semakin tegang, di mana responden yang mempunyai status menikah lebih rentan daripada yang tidak menikah.
Selain itu, adanya keterkaitan antara penghasilan ekonomi responden dengan tingkat keharmonisan rumah tangga semasa pandemi, di mana responden yang memiliki penghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan menyatakan hubungan dengan pasangan lebih tegang semasa pandemi.
Baca Juga:Kreativitas Bisnis Lukis Sepatu Bertahan di Tengah Pandemi
Kekerasan terjadi terhadap responden yang memiliki pengeluaran bertambah dan mempunyai penghasilan di bawah Rp 5 juta. Sebanyak 80 persen responden menyatakan sering mendapat kekerasan. Artinya faktor ekonomi menjadi salah satu pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan.