SuaraJabar.id - SAFEnet menunjukkan data sangat muram dalam kasus kekerasan seksual berbasis gender online. Tahun 2020 menurut catatan SAFEnet meningkat 400 persen. Berdasarkan laporan yang masuk, paling tinggi pada bentuk kekerasan berbasis gender online (KBGO) penyebaran konten intim non-konsensual.
Kepala Sub Divisi Digital At-Risks (DARK) SAFEnet Ellen Kusuma mengungkapkan penyebab meningkatnya KBGO, di antaranya, semakin tinggi penggunaan internet di Indonesia tidak diimbangi dengan literasi digital. Sehingga yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, salah satunya, literasi digital harus lebih dimarakkan lagi.
Bahkan, Ellen mendorong, sangat penting jika literasi digital dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal. Hal tersebut sebagai satu langkah pencegahan terhadap kekerasan atau kejahatan pada ranah online. Kurikulum yang disarankannya berisi berbagai hal, salah satunya mengenai privasi serta konsep keamanan yang diterapkan di dunia digital.
“Karena hidup kita sendiri semakin tidak bisa dilepaskan dengan teknologi digital, macam-macam pengetahuan yang memang dapat membuat orang lebih mawas diri atas apa yang terjadi di dunia digital atau dengan pemanfaatan teknologi digital. Jadi ini (memasukkan keamanan digital dalam pendidikan formal) harus diperhatikan,” ungkap Ellen kepada Suara.com (26/11).
Baca Juga:Dipecat Gereja, Pendeta Suarbudaya Harus Keluar dari Sekretariat GKA
Ellen menjelaskan, mitigasi atau pengurangan dampak kekerasan dan kejahatana di dunia digital memiliki banyak tantangan. Ketika sebuah konten tersebar, hoax telah viral akan sulit sekali untuk menarik penyebaran atau kepemilikannya dari masyarakat.
“Ketika konten sudah tersebar kita tidak bisa menghapus serta-merta semua jejak digital yang sudah naik ke dunia maya itu sendiri. Sehingga, pencegahan kasus selalu lebih baik, dan pencegahan paling baik itu dengan literasi digital,” imbuh Ellen.
Ellen mengatakan banyak sekali modus, taktik yang dilakukan oleh pelaku KBGO dengan difasilitasi teknologi digital. Ia mengungkapkan penyebabnya bisa sangat beragam.
“Karena motivasi dan tujuan seorang individu melakukan tindak kekerasan itu bisa macam-macam. Tetapi, bisa jadi mereka sendiri belum teredukasi dengan baik. Maka, edukasi juga menjadi penting kalau mau membahas tentang KBGO,” ungkapnya.
Dalam pelaporan kasus yang diterima SAFEnet, pihaknya mencatat yang paling menonjol di masa pandemi saat ini sangat terkait dengan penyebaran konten intim non-konsensual yang sering dikenal dengan revenge porn.
Baca Juga:Gereja Pecat Pendeta Suarbudaya, Diduga Lakukan Kekerasan Seksual
Namun, SAFEnet menghindari penyebutan tersebut dan lebih memilih istilah non-consensual dissemination of intimate images (NCII).
“Problematis, karena mengindikasikan ada victim blaming di dalam itu. Karena revenge itu ada balas dendam seakan-akan pelaku itu berhak melakukan balas dendam karena korban telah berbuat salah terlebih dulu,” jelasnya.
Selain literasi digital, pencegahan yang dapat dilakukan terhadap ancaman konten intim non-konsensual, Ellen menyebutkan, masyarakat pengguna internet hendaknya memahami ekosistem dari tata kelola internet dan kebijakan apa saja yang sudah ada di Indonesia.
“Tapi pada intinya kalau mau berbicara mengenai keamanan digital, mulai dari yang dasar itu seperti apa, dengan melakukan penyesuaian setting atau pengaman privasi dan keamanan dari setiap akun digital yang kita gunakan,’’ ungkap Ellen.
Terkait upaya keamanan digital untuk pencegahan terjadinya KBGO dan kejahatan siber lainnya Ellen mengingatkan agar tidak sekadar pada media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter atau Tiktok, tetapi juga meliputi email, akun Whatsapp, games online dan sebagainya.
Itu dapat dilakukan dengan menyesuaikan setting pengamanan dan privasi yang sudah disediakan oleh masing-masing platform akun digital. Kemudian, pengguna internet dapat mengecek jejak digitalnya sendiri dengan mencari namanya pada mesin pencari Google. Hal tersebut untuk mengetahui apakah banyak informasi mengenai diri sendiri yang tersebar di dunia maya.
“Jadi informasi yang pada Google itu bisa kemudian digunakan untuk melakukan profiling pada kita dan kalau tujuannya jahat bisa menjadi sebuah tindak kekerasan. Jadi lakukan itu, mengecek jejak digital kita yang sudah lama atau muncul dipencarian Google,” Ellen menyarankan.
Bagaimanapun, dampak penggunaan internet terhadap KBGO sangat besar. Karena, Ellen kembali mengingatkan, pada prinsipnya internet menghubungkan banyak orang, tidak melihat batas wilayah. Hal ini menjadi karakteristik bahwa KBGO atau kekerasan pada umumnya difasilitasi oleh teknologi, sehingga membutuhkan penanganan yang khusus. Jika tidak memperhatikan penanganannya, internet tidak akan pernah menjadi ruang yang aman bagi para penggunanya.
Lantas untuk menciptakan ruang internet yang aman bagi perempuan, ia mengungkapkan caranya: memperhatikan dan mendengar apa yang menjadi pengalaman perempuan saat menggunakan teknologi.
Di sinilah Ellen menuntut tanggung jawab agar para platform digital dan media sosial harus ingklusif, memahami apa yang terjadi pada para penggunanya dan apakah platformnya sudah menjadi ruang yang aman atau tidak. Selebihnya, menjadi tanggung jawab masing-masing pengguna untuk bijak berinternet.
“Untuk bisa melihat perempuan bukan sebagai objek di dalam jagat internet, tetapi sebagai subjek yang harus dihormati dan dihargai juga pendapatnya ataupun ekspresinya,” ungkapnya.
Akar masalah dan solusinya
Ira Imelda menjelaskan, akar permasalahan dari adanya kekerasan sesksual baik online maupun di dunia nyata disebabkan adanya budaya patiarki, relasi timpang antara laki-laki dan perempuan. Adanya pihak yang merendahkan martabat, dan merendahkan tubuh pihak lainnya. Perempuan masih dijadikan objek seksual.
Selain itu, negara belum mampu menghadirkan peraturan untuk melindungi korban kekerasan seksual seutuhnya. Ia mengungkapkan korban KBGO saat ini hanya diwadahi peraturan pornografi dan Undang-undang No 11/2008 dan refivisinya 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Seringkali pada kasus KBGO penyebaran konten intim ada kemungkinan korban juga ikut terseret mendapat hukuman. Sehingga pihaknya mendorong perlunya pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
“Sebenarnya, itu kenapa kita konsen sekali mengenai RUU PKS, pada kasus KBGO pelaku telah melakukan eksploitasi seksual, tapi tidak masuk dengan hukum yang sekarang. Biasanya siber itu masuknya pada UU ITE jika menyebarkan atau mentransmisikan. Tapi, kalau di (penghapusan) kekerasan seksual, berupa ancaman saja itu sudah masuk dalam kekerasan seksual,” ungkapnya.
Sementara itu Komnas Perempuan juga mencatat tantangan mengadvokasi korban KBGO yakni pada sistem hukum yang masih memiliki keterbatasan dan belum bisa menjangkau korban terutama sistem pembuktiannya merujuk KUHP. Sementara KUHP produk hukum lama yang belum mengatur bagaimana penanganan terhadap KBGO.
Selain itu, masih kurangnya pemahaman apparat penegak hukum yang berperspektif pada korban. Ditambah masih langgengnya pemahaman menyalahkan korban di tengah masyarakat.
“Disamping belum terlalu clear definisi kesusilaan itu apa oleh aparat, definisi kesusilaan itu bukan perlindungannya kepada korbannya tetapi tergantung kepada penilaian masyarakat,” ungkap Aminah.
Kemudian untuk aparat penegak hukum terkait pengangan cyber crime baru ada ditingkat Polda, sarana prasarana dan jumlah SDM juga masih terbatas. Sehingga ketika ada kasus, proses pembuktian dan pengungkapannya memakan waktu lebih lama.
Terkait dengan regulasi sendiri, Samahita Bandung menyoroti masih minimnya regulasi yang bersperspektif korban termasuk Lembaga pengada layanan di pemerintah.
“Perspektif pemerintah masih sangat minim terkait isu kekerasan seksual, jadi tidak aneh kalau DPR bilang ‘RUU PKS sulit untuk dibahas’ ya memang sulit untuk dibahas, bagi mereka yang masih memegang perspektif patriarki,” ungkap Ressa.
Terpisah, Suara.com telah mencoba beberapa kali menghubungi Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayana Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mitha Rovianti untuk meminta tanggapan terkait dengan peningkatan kasus kekesaran seksual dan KBGO di Kota Bandung serta penanganan terhadap korban kekerasan seksual, namun tidak mendapat jawaban.
“Untuk menyampaikan informasi ini saya harus izin pimpinan dulu ya,” ungkapnya ketika dihubungi pertama kali pada Selasa (24/11).
Suara.com mencoba kembali mengkonfirmasi kepada Mitha untuk kedua kalinya pada Jumat (27/11), perihal bagaimana langkah dan strategi pendampingan yang dilakukan oleh pihaknya terhadap korban kekerasan seksual.
Ketika ditanya mengenai apakah pihak P2TP2A menerima laporan pengaduan kekerasan seksual, ia mengaku ada pelaporan yang masuk. Namun, ia menampik adanya peningkatan kasus pada tahun 2020.
“Ada (pelaporan kasus), tahun ini menurun. Kami lakukan konseling terhadap klien,” tulisnya.
Selebihnya ia tidak merespon pertanyaan yang dilontarkan dan meminta agar Suara.com meminta ijin pimpinan terlebih dahulu sebelum wawancara.
Respon datar dari pemerintah terkait di Kota Bandung terhadap kekerasan seksual, baik di ranah offline dan online, semakin memperpanjang jalan korban dan penyintas kekerasan seksual untuk mendapat keadilan.
Meskipun kasus kekerasan seksual setiap tahunnya meningkat, regulasi yang ada belum ramah terhadap korban kekerasan seksual.
Ke depan, korban KBGO juga masih akan menempuh jalan sunyi untuk mendapat keadilan dan perlindungan yang aman dari negara. Melanjutkan tuntutan dari Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga pendamping korban kekerasan seksual di Bandung, maka jika negara memang benar ingin hadir untuk melindungi perempuan dan hak-hak korban kekerasan seksual, maka solusinya mengesahkan RUU PKS.
“Solusinya RUU PKS! Karena asas keadilan di dalam roh RUU PKS ini sebenarnya mendorong agar korban mendapat jaminan pemulihan yang menyeluruh, komperhensif, dan jaminan rehabilitasi untuk pelaku yang memang tujuannya memutus rantai kekerasan,” tuntut Ressa mewakili Komunitas Samahita dan para korban di Bandung. [Emi La Palau]
Catatan Redaksi: Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.