“Jadi informasi yang pada Google itu bisa kemudian digunakan untuk melakukan profiling pada kita dan kalau tujuannya jahat bisa menjadi sebuah tindak kekerasan. Jadi lakukan itu, mengecek jejak digital kita yang sudah lama atau muncul dipencarian Google,” Ellen menyarankan.
Bagaimanapun, dampak penggunaan internet terhadap KBGO sangat besar. Karena, Ellen kembali mengingatkan, pada prinsipnya internet menghubungkan banyak orang, tidak melihat batas wilayah. Hal ini menjadi karakteristik bahwa KBGO atau kekerasan pada umumnya difasilitasi oleh teknologi, sehingga membutuhkan penanganan yang khusus. Jika tidak memperhatikan penanganannya, internet tidak akan pernah menjadi ruang yang aman bagi para penggunanya.
Lantas untuk menciptakan ruang internet yang aman bagi perempuan, ia mengungkapkan caranya: memperhatikan dan mendengar apa yang menjadi pengalaman perempuan saat menggunakan teknologi.
Di sinilah Ellen menuntut tanggung jawab agar para platform digital dan media sosial harus ingklusif, memahami apa yang terjadi pada para penggunanya dan apakah platformnya sudah menjadi ruang yang aman atau tidak. Selebihnya, menjadi tanggung jawab masing-masing pengguna untuk bijak berinternet.
Baca Juga:Dipecat Gereja, Pendeta Suarbudaya Harus Keluar dari Sekretariat GKA
“Untuk bisa melihat perempuan bukan sebagai objek di dalam jagat internet, tetapi sebagai subjek yang harus dihormati dan dihargai juga pendapatnya ataupun ekspresinya,” ungkapnya.
Akar masalah dan solusinya
Ira Imelda menjelaskan, akar permasalahan dari adanya kekerasan sesksual baik online maupun di dunia nyata disebabkan adanya budaya patiarki, relasi timpang antara laki-laki dan perempuan. Adanya pihak yang merendahkan martabat, dan merendahkan tubuh pihak lainnya. Perempuan masih dijadikan objek seksual.
Selain itu, negara belum mampu menghadirkan peraturan untuk melindungi korban kekerasan seksual seutuhnya. Ia mengungkapkan korban KBGO saat ini hanya diwadahi peraturan pornografi dan Undang-undang No 11/2008 dan refivisinya 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Seringkali pada kasus KBGO penyebaran konten intim ada kemungkinan korban juga ikut terseret mendapat hukuman. Sehingga pihaknya mendorong perlunya pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Baca Juga:Gereja Pecat Pendeta Suarbudaya, Diduga Lakukan Kekerasan Seksual
“Sebenarnya, itu kenapa kita konsen sekali mengenai RUU PKS, pada kasus KBGO pelaku telah melakukan eksploitasi seksual, tapi tidak masuk dengan hukum yang sekarang. Biasanya siber itu masuknya pada UU ITE jika menyebarkan atau mentransmisikan. Tapi, kalau di (penghapusan) kekerasan seksual, berupa ancaman saja itu sudah masuk dalam kekerasan seksual,” ungkapnya.
Sementara itu Komnas Perempuan juga mencatat tantangan mengadvokasi korban KBGO yakni pada sistem hukum yang masih memiliki keterbatasan dan belum bisa menjangkau korban terutama sistem pembuktiannya merujuk KUHP. Sementara KUHP produk hukum lama yang belum mengatur bagaimana penanganan terhadap KBGO.
Selain itu, masih kurangnya pemahaman apparat penegak hukum yang berperspektif pada korban. Ditambah masih langgengnya pemahaman menyalahkan korban di tengah masyarakat.
“Disamping belum terlalu clear definisi kesusilaan itu apa oleh aparat, definisi kesusilaan itu bukan perlindungannya kepada korbannya tetapi tergantung kepada penilaian masyarakat,” ungkap Aminah.
Kemudian untuk aparat penegak hukum terkait pengangan cyber crime baru ada ditingkat Polda, sarana prasarana dan jumlah SDM juga masih terbatas. Sehingga ketika ada kasus, proses pembuktian dan pengungkapannya memakan waktu lebih lama.
Terkait dengan regulasi sendiri, Samahita Bandung menyoroti masih minimnya regulasi yang bersperspektif korban termasuk Lembaga pengada layanan di pemerintah.
“Perspektif pemerintah masih sangat minim terkait isu kekerasan seksual, jadi tidak aneh kalau DPR bilang ‘RUU PKS sulit untuk dibahas’ ya memang sulit untuk dibahas, bagi mereka yang masih memegang perspektif patriarki,” ungkap Ressa.