Keok Akibat Pandemi, Ike Janita Dewi: Industri Wisata Harus Ubah Strategi

Pengamat pariwisata dari Sanata Dharma, Ike Janita Dewi meminta Industri pariwisata harus ubah strategi hadapi pandemi yang berlarut ini.

Galih Priatmojo | Mutiara Rizka Maulina
Kamis, 24 Desember 2020 | 13:15 WIB
Keok Akibat Pandemi, Ike Janita Dewi: Industri Wisata Harus Ubah Strategi
Pengamat Pariwisata, Ike Janita Dewi dalam pemaparannya pada webinar Rabu (23/12/2020). - (YouTube/Suara.com)

SuaraJabar.id - Pengamat Pariwisata Universitas Sanata Dharma, Ike Janita Dewi menyampaikan jika pandemi membuat masyarakat beradaptasi dengan hal baru, salah satunya adalah pengadaan Rapid Antigen sebagai syarat liburan akhir tahun. Dalam penanganan wabah, aspek kesehatan menjadi hal yang paling diperhatikan.

Namun, ternyata ada juga aspek-aspek lainnya yang ikut terdampak dari merebaknya virus corona, seperti yang ia bahas dari aspek ekonomi.

Dua daerah di Indonesia yang bergantung kepada pariwisata adalah Bali dan Jogjakarta. Dampak di sektor ekonomi untuk wilayah DIY sendiri mencapai angka 30%.

Jika ditambah dengan pendidikan, maka berdampak 60% dari perekonomian di Jogja. Pada triwulan ketiga sektor ekonomi mencapai minus 7%. Di bulan berikutnya saat wisatawan datang, kehidupan ekonomi bisa meningkat.

Baca Juga:Sempat Blokir Twitter Sandiaga Uno, Susi Pudjiastuti Sampaikan Pesan Ini

"Kalau kita melihat PDRB DIY itu sekitar Rp16 triliun. Jadi kalau sampai 60% itu jumlahnya cukup besar," ujar Ike dalam webinar yang dihelat Suara.com, Rabu (23/12/2020) kemarin.

Ia menilai pendekatan untuk menghadapi krisis ini harus multidimensi. Gerbong kesehatan dan ekonomi harus selaras. Awal tahun 2020 sendiri, Presiden Jokowi sempat menyampaikan jika pariwisata akan menjadi unggulan perekonomian Indonesia. Penghasil devisa sangat besar menggantikan minyak bumi dan gas, kelapa sawit dan tekstil. Namun, hal itu terjadi sebelum pandemi menyerang.

Dari wabah ini juga bisa dipelajari bahwa wisata merupakan salah satu sektor yang paling rentan dengan berbagai permasalahan. Misalnya permasalahan epidemi, bencana alam, dan gangguan keamanan. Ada juga beberapa hal atau skema yang Ike rumuskan untuk menghadapi situasi yang akan datang. Yakni, Indonesia belum memiliki skema dan mekanisme dalam mengatasi krisis kepariwisataan.

Strategi yang perlu dirumuskan untuk daerah yang mengandalkan sektor pariwisata di antaranya adalah, komunikasi dan koordinasi internal di daerah dan pemerintah pusat. Lalu, komunikasi pemasaran terpadu ke pasar konsumen dan bisnis. Kemudian respons cepat terhadap promosi penjualan, pengalihan pasar sasaran dan sebagainya. Terakhir, adalah mekanisme monitoring dan evaluasi strategi.

"Pasar ternyata bingung, baik pasar wisatawan maupun juga industri pariwisata ini sangat terguncang dengan kebijakan antigen yang sangat tiba-tiba," imbuh Ike.

Baca Juga:Nataru Saat Pandemi Covid-19, Uskup Agung Semarang Ajak Umatnya Bersyukur

Di Jogja sendiri, sejak beberapa hari sebelumnya tercatat ada 30% persen pembatalan dari pemesanan hotel yang sudah dibuat. Wisatawan mengalami kesulitan untuk mencari tempat rapid antigen. Ada antrian panjang dalam beberapa tempat yang menyediakan layanan itu. Ike juga menilai adanya respon dan komunikasi yang sangat lambat. Misalnya saja, wisatawan yang sudah sampai di hotel tapi tidak bisa diterima karena harus rapid antigen.

Namun, Ike juga memberikan apresiasi kepada Kemenparekraf yang sudah memberikan program yang sistematis untuk menerapkan Clenaliness, Helath, Safety + Environment Sustainability(CHSE). Dalam era new normal, metode CHSE tersebut yang paling utama untuk diperhatikan. Pilihan konsumen akan didasarkan pada kapabilitas untuk menerapkan CHSE secara konsisten. Metode itu jadi modal utama untuk membangun kepercayaan diri pasar.

Permasalahannya, seorang wisatawan tidak hanya diam di satu tempat saja. Ia berkunjung ke tempat wisata, tempat makan, bandara, penginapan dan sebagainya. Untuk itu, seluruh titik perjumpaan harus konsisten menerapkan CHSE. Menurut Ike, yang justru sulit untuk ditertibkan adalah kuliner-kuliner yang ada di pinggir jalan. Masa new normal ini adalah fase untuk menunggu hingga syarat rapid test atau swab ini menjadi hal yang biasa.

"Saya sampaikan untuk industri pariwisata harus siap dengan syarat yang demikian," tukasnya.

Namun, khusus untuk Bali harus menggunakan syarat berpergian berupa hasil swab negatif. Hal tersebut, disampaikan Ike sebab wilayah Bali ingin bisa segera membuka diri untuk wisatawan mancanegara. Untuk itu, ada dua hal yang harus diperhatikan. Yakni angka penularan di Bali harus menurun. Kedua, mau tidak mau, Bali harus menyertakan syarat swab.

Industri pariwisata atau perhotelan pada umumnya mau tidak mau harus ada perubahan model bisnis untuk strategi operasional bisnis. Misalnya saja ada peran teknologi, inovasi dan efisiensi bisnis pariwisata. Selanjutnya Ike melihat di Indonesia ada beberapa langkah strategi pemulihan pariwsiata yang diterapkan pemerintah. Permulihan pertama yang menjangkau pasar lokal dan wisata nusantara sejak Juli hingga Desember.

Tahap kedua pasar wisata nusantara dan kebangkitan pasar mancanegara mulai semester kedua tahun 2021. Terakhir, adalah akselerasi pasar domestik dan pasar mancanegara mulai pada semester kedua tahun 2022. Perlu adanya koridor perjalanan antar provinsi, kabupaten, kota dan negara untuk memperlancar mobilitas masyarakat. Masa new normal dengan syarat tes diperkirakan akan berlangsung hingga akhir tahun 2021.

"Tenaga kerja yang terdampak ini kita juga punya perhitungannya ternyata sangat besar," terang Ike.

Dengan jumlah populasi yang sangat besar di Indonesia, saat faktor ekonomi yang terdampak akan terjadi kriminalitas. Orang lapar akan melakukan semua cara untuk mengatasinya. Ia berharap jangan sampai ada dampak yang lebih parah dari pandemi ini. Terakhir, Ike meyakini bahwa pandemi akan membawa industri pariwisata kepada tingkat yang lebih baik. Misal saja untuk standar kebersihan, sanitasi dan kesehatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini