SuaraJabar.id - Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) yang menghuni kawasan Pegunungan Sawal di Kabupaten Ciamis dikabarkan hampir punah.
Populasi binatang bernama latin Nycticebus Javanicus itu terus menurun akibat tingginya perburuan untuk diperjual belikan sebagai hewan peliharaan.
Padahal, Kukang Jawa adalah salah satu satwa yang dilindungi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang dikategorikan kritis atau terancam punah.
Selain karena banyaknya perburuan, populasi Kukang Jawa terus merosot akibat adanya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan dan perkampungan.
Baca Juga:Polisi Amankan Koleksi Satwa Dilindungi dari Tersangka Narkoba
Edi Koswara, petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III Jawa Barat menanggapi hal tersebut.
“Dalam kurun waktu tahun 2020 kami bersama Relawan Yayasan International Animal Resque Indonesia (YIARI) kami telah melepaskan kukang sebanyak 30 ekor hasil rehabilitasi IAR (International Animal Resque) sebanyak 20 ekor dan 10 hasil rehabilitasi BKSDA ke habitatnya di kawasan pegunungan sawal di blok Nasol, Darmacaang dan Pasir tamian,” kata dia.
Namun, upaya itu tidaklah cukup untuk menjadi satu jaminan keberlangsungan hidup kukang. Pasalnya, kukang yang liar pada saat ini terdesak oleh alih fungsi lahan. Karena itu, banyak sekali kukang ditemukan di perkampungan akibat tersengat listrik.
Selain itu, pelepasan kukang hasil rehabilitasi pun berdasarkan hasil Analisa, peluang hidupnya hanya 50%. Apalagi kalau fisik kuku kukang dan giginya sudah dipotong sehingga mengurangi daya tahan hidup di alam. Oleh sebab itu, populasi kukang secara data dipastikan belum bisa akurat.
Sebagai informasi, kawasan pegunungan sawal secara kefungsian terbagi menjadi 3 (tiga) kawasan yaitu, Kawasan Suaka Marga Satwa, Kawasan Hutan Produksi dan Kawasan Hutan Rakyat.
Baca Juga:Diguyur Hujan Deras, Atap Ruang Sekolah di Ciamis Ambruk
Untuk memasuki kawasan suaka margasatwa berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : SK.192/IV-Set/HO/2006 tanggal 13 November 2006 tentang Izin Masuk Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru tidaklah semua orang dapat masuk ke kawasan tersebut.
Orang yang mau masuk harus memiliki izin masuk kawasan konservasi (SIMAKSI) dari pengelola Kawasan. Izin ini hanya dapat dikeluarkan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, pembuatan film dan atau video klip, dalam bentuk film dokumenter.
Pada tahun 2017, Leni Bunis salah seorang Mahasiswa Kader Konservasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Tasikmalaya melakukan obeservasi terhadap keberadaan populasi kukang di kawasan pegunungan Sawal. Leni mencatat ada 216 kukang.
Menurutnya, sebagai upaya penyelamatan kukang yang ada di kawasan pegunungan sawal harus ada perhatian yang lebih intensif dari pemerintah, salah satunya keberadaan BKSDA.
Sementara itu, Ilham Purwa salah seorang kader konservasi yang juga akademisi di Universitas Galuh Ciamis mengutarakan pendapatnya.
“Perlu ada upaya yang berkelanjutan dalam rangka penyelamatan kukang ini. Salah satunya pengetatan izin masuk ke kawasan suaka marga satwa.”
Menurut Ilham, hingga saat ini masih banyak yang masuk ke kawasan tanpa izin yang jelas. Terbukti dari banyaknya aktivitas orang yang tertangkap camera trap.
Kamera jebakan ini merupakan jenis kamera yang dilengkapi sensor gerak dan sensor panas dan atau termal yang dapat digunakan untuk merekam keberadaan satwa liar yang ada di kawasan tertentu.
Sensor camera trap ini akan aktif jika ada objek bergerak dan atau yang memiliki suhu berbeda dengan lingkungan area cakupan sensor di kawasan suaka marga satwa dengan aktivitas yang tidak jelas.
Semakin jarangnya keberadaan populasi Kukang Jawa di kawasan pegunungan Sawal ini diungkapkan pula oleh Undang (56), salah seorang warga petani penggarap di blok Kujang.
“Kurang lebih 15 tahun ini saya menggarap lahan ini belum pernah menemukan Kukang,” jelasnya.