Cerita dari Kampung Terpencil KBB, Jalan Darat Berlumpur-Lewat Air Dipenuhi Eceng Gondok

Salah satu kampung yang tertinggal adalah Cirawa dan Cijuhung.

Suhardiman
Rabu, 09 Juni 2021 | 12:55 WIB
Cerita dari Kampung Terpencil KBB, Jalan Darat Berlumpur-Lewat Air Dipenuhi Eceng Gondok
Seorang pengendara motor melewati jalan berlumpur menuju Kampung Cijuhung, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat. [Suara.com/ Ferry Bangkit Rizki]

SuaraJabar.id - Menetap di Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang dipimpin kepala daerah dari kalangan artis tak serta merta membuat warga satu RW di Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy bangga.

Daerah mereka yakni RT 01, 02, 03 dan 04 di RW 11 Desa Margaluyu tetap saja terpencil dan tertinggal. Padahal daerah warga di beberapa kampung itu berdekatan dengan ruas Tol Cipularang dan pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Salah satu kampung yang tertinggal adalah Cirawa dan Cijuhung. Akses menuju kampung tersebut sangatlah buruk. Akses jalan lebih baik hanya bisa didapatkan ketika mereka sudah berjalan sekitar dua jam dari kampung.

Beberapa waktu lalu, Suara.com melakukan perjalanan ke kampung terpencil yang ternyata berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur, yang hanya dipisahkan oleh perairan Waduk Cirata.

Baca Juga:Cek Tahapan PPDB DKI Jakarta 2021, Orang Tua Siswa Wajib Tahu

Jalan beralaskan aspal yang sebagian besar sudah mengelupas menjadi pembuka perjalanan menuju Cijuhung dan Cirawa. Awalnya baik-baik saja, sebab sepeda motor yang ditumpangi melaju tanpa cakap keluhan.

Perjalanan sebenarnya akhirnya tiba. Kubangan lumpur dan berair yang menutupi jalan bebatuan sebagai pertanda selamat datang mulai terlihat. Sepeda motor yang ditumpangi pun mulai tidak nyaman dan goyah.

Tak ada deretan rumah di tepi jalan yang sepi itu. Kiri dan kanan jalan hanya dipenuhi perkebunan karet, pohon jati hingga kebun coklat. Jarang sekali kendaraan lewat.

Beruntung diperjalanan ada seorang warga Kampung Cirawa, RT 01/11, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, KBB bernama Agus Mustabah (25). Ia hendak menuju rumah sodaranya di pusat Kecamatan Cipeundeuy.

Muka lelah terlihat dari wajahnya karena sebelumnya melibas badan jalan berlumpur yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Jalanan begitu licin sebab kalau itu daerah tersebut sudah diguyur hujan.

Baca Juga:Rizki DA Ogah Bahas Talak Cerai dan Tes DNA Anak

"Memang dari dulu begini jalannya. Ini mendingan, kalau habis hujan besar jalan sulit dilewati karena rusak parah," kata Agus.

Dandanan rapi yang dilengkapi dengan kemeja dan minyak wangi serasa percuma bagi warga kampung itu. Sebab, semuanya akan luntur diperjalanan berganti dengan bau keringat.

Memang warga masih memiliki opsi lain untuk bepergian atau sekedar membeli kebutuhan ke Kecamatan Cipeundeuy, yakni menggunakan perahu atau rakit melintasi Waduk Cirata. Namun bukan tanpa persoalan.

Perairan yang termasuk Dermaga Cibogo yang merupakan sumber utama pembangkit listrik tenaga air yang menerangi wilayah Jawa-Bali itu juga kerap tertutup eceng gondok sehingga sulit ditembus perahu.

Belum lagi warga harus mengeluarkan biaya lebih jika harus menaiki perahu. Sehingga kebanyakan warga Cijuhung dan Cirawa lebih memilih lewat jalan berlumpur yang sangat sulit dillalui kendaraan biasa.

Bukan hanya akses yang buruk, jalan yang dinamakan warga Jalan Cibungur itu tanpa penerangan. Warga kebanyakan tak berani melewati akses jalan tersebut saat malam hari.

"Pakai perahu biasanya ongkosnya Rp 20 ribu. Tapi banyak eceng gondok. Kalau lewat jalan sini, saya biasanya berani sampai jam 7 malam. Lewat dari jam segitu gak berani," tutur Agus.

Memasuki kebun karet jalan semakin tak karuan. Semakin menyulitkan meskipun sepeda motor yang digunakan jenis Trail. Lengah sedikit saja, kubangan lumpur sudah menanti.

Tak ada rumah satupun. Hanya saung-saung bekas yang sudah nampak lapuk. Biasanya, saung-saung itu digunakan petani karet untuk beristirahat. Kala melintas, para petani itu terlihat sedang menyadap getah karet.

Mereka hanyalah buruh yang dipekerjakan pemilik kebun karet. Salah satunya Encang (46). Sudah tiga bulan bapak tiga anak itu menjadi penyadapan getah karet. Setiap harinya, ada sekitar 200 pohon yang ia sadap getahnya.

"Langsung diserahkan kepada yang punya. Sehari paling dapat Rp 30 ribu," ujar Encang.

Perjalanan dilanjutkan dengan sisa tenaga yang ada. Kampung terpencil itu tak kunjung terlihat meski sudah sekitar satu jam lebih melakukan perjalanan. Jalan semakin sulit ditembus ketika memasuki perkebunan coklat lagi.

Setelah susah payah, pemukiman akhirnya mulai terlihat. Tapi lagi-lagi sudah terlihat lapuk, mengingat dindingnya terbuat dari bilik bambu. Temboknya pun mulai retak. Bahkan, beberapa di antaranya sudah tidak berpenghuni.

Wilayah itu masuk Kampung Cijuhung, RT 03/11, Desa Margaluyu. Rumah-rumah itu dulunya milik pemilik perusahaan karet yang diperuntukan bagi pekerjanya. Namun, sejak perkebunan karetnya diakusisi orang China, banyak pegawai yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Seperti yang dialami Abad (68). Warga asli Cianjur itu sudah berpuluh tahun tinggal di rumah milik perkebunan karet itu. Ia memiliki bertahan meski sudah bukan karyawan tetap lagi.

"Dulu mah banyak yang tinggal di sini pekerjaan. Pas dijual ke China tahun 2020-an, pada pindah karena sudah dikasih pesangon," kata Abad.

Sejak dijual kepada orang asing, semua pekerjanya tidak lagi dibayar tetap. Melainkan dibayar harian. Sehingga banyak yang sudah kembali ke daerah asalnya.

Selain itu, perkebunan pun semakin tidak terusus. Apalagi jalannya yang semakin hancur tanpa tersentuh perbaikan. Kondisi yang membuat ia berpikir dua kali untuk menuju perkotaan, kecuali ada hal mendesak dan ada keperluan.

"Naik perahu sebetulnya lebih singkat tapi lumayan ongkosnya. Jalan darat lebih mudah dan efektif tapi kan aksesnya buruk," ujarnya.

Akses yang serba sulit itu juga bukan hanya berdampak terhadap aktivitas perekonomian. Tapi juga kesehatan dan pendidikan. Warga yang sakit atau akan melahirkan terpaksa melintasi danau menuju Cipeundeuy guna mendapatkan pelayanan medis. Bidan terdekat pun, tuturnya, tak sanggup untuk mendatangi warga Cijuhung.

Untuk akses pendidikan, hanya ada SD Negeri Cibungur yang terdekat. Sekolah itu dijadikan satu atap sebab disatukan dengan sekolah SMP. Sementara untuk sekolah jenjang SMA dan sederajat, siswa terpaksa harus menempuh perjalanan lebih jauh.

"Kalau untuk SMA lebih jauh, harus ke desa dulu. Ada sekitar setengah sampai satu jam," ujar Wida, kader PKK Desa Margaluyu.

Kondisi kampung terpencil dan tertinggal itu seharusnya menjadi perhatian pihak terkait, termasuk Pemkab Bandung Barat yang memiliki program "KBB Leucir". Bukan hanya jalan ramai kendaraan saja yang diperbaiki, jalan menuju pelosok pun butuh sentuhan pemerintah.

Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini