PPKM Darurat Belum Cukup, Bandung Dinilai Butuh Penanganan yang Lebih Agresif

Khusus di Kota Bandung, Irvan mengakui, situasinya sudah kritis.

Ari Syahril Ramadhan
Kamis, 01 Juli 2021 | 16:45 WIB
PPKM Darurat Belum Cukup, Bandung Dinilai Butuh Penanganan yang Lebih Agresif
ILUSTRASI-Petugas kesehatan mendata warga yang hendak menjalani pemeriksaan antigen untuk mendeteksi penularan COVID-19 di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. [ANTARA/HO-Humas Pemkot Bandung]

SuaraJabar.id - Pembatasan aktivitas masyarakat secara total untuk sementara waktu dinilai tepat untuk menangani kasus COVID-19 di Kota Bandung.

Hal ini diungkapkan Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Irvan Afriandi saat memberikan keterangan pers secara virtual, Kamis (1/7/2021).

Ia mengungkapkan, saat ini kondisi pandemi Covid-19 tengah kritis. Oleh karenanya, memerlukan intervensi penanganan yang lebih agresif.

Bahkan jika memungkinkan pelaksanaannya lebih ketat dari Pemberlakuan Pembatasan Masyarakat atau PPKM Darurat yang baru saja diambil oleh Presiden Joko Widodo.

Baca Juga:PPKM Mikro Darurat Diberlakukan, Begini Respon Bioskop Cinema XXI

“Yaitu menghentikan sementara aktivitas sosialisasi masyarakat. Maka dengan tidak ada interaksi ini sehingga virus tidak berpindah," kata Irvan.

"Karena virus hanya akan berada pada orang yang sakit yang dirawat sampai sembuh ataupun kemungkinan terburuk apabila ditakdirkan meninggal dunia,” imbuhnya.

Irvan menyebut, penghentian aktivitas dilakukan dalam kurun waktu dua pekan dengan mengadopsi prosedur penanganan seperti ‘lockdown’. Perhitungannya karena secara rata-rata orang yang terinfeksi virus sekitar 85 persen akan sembuh tanpa perawatan rumah sakit maka akan membaik selama 2 minggu.

“Kalau semua kompak dalam 2 minggu habis, ya sudah selesai. Itu yang dilakukan oleh negara-negara lain. Seperti di New Zeland atau bahkan di Wuhan China sekalipun. Yaitu dengan dites, di-tracing lalu ditutup dan setelah itu dijaga pintunya,” jelasnya.

Khusus di Kota Bandung, Irvan mengakui, situasinya sudah kritis. Sehingga memerlukan intervensi penanganan yang lebih agresif. Bahkan tidak menutup kemungkinan lebih dari aturan pemerintah pusat.

Baca Juga:Lepas dari Persija, Robert Albert Ungkap Sampaikan Ini Pada Marc Klok

“Saya menilai hal yang digariskan pemerintah pusat itu kebijakan minimum. Saya kira setidak-tidaknya mengikuti ketentuan minimal yang diatur PPKM Darurat. Kalau dari aturan itu dipandang tidak memadai untuk situasi di Kota Bandung, Pemkot Bandung bisa mengambil lebih dari itu. Artinya mengambil lebih ketat,” bebernya.

Apabila langkah ini diambil untuk penanganan di Kota Bandung, Irvan mengingatkan, semua pihak harus memahami bahwa untuk mengukur tingkat keberhasilannya baru bisa terekam dalam kurun waktu dua bulan berikutnya.

Dengan catatan selama dua pekan PPKM Darurat semua aktivitas seluruh penghuni di Kota Bandung dihentikan.

“Karena pola yang sekarang jauh lebih dahsyat ketika Januari lalu. Jadi kalau dua minggu 'off', manfaat atau efeknya baru akan terlihat sebulan yang akan datang," jelasnya.

"Kalau itu bisa dikelola, sebulan berikutnya maka akan makin turun karena interaksi tidak terjadi,” terang Irvan.

Kunci kesuksesan untuk PPKM Darurat tersebut juga tetap bergantung pada implementasi di lapangan.

“Kita sering bermasalah ketika kebijakannya bagus, tapi implementasinya di lapangan yang repot. Kemudian ini harus dilakukan secara masif dan merata," tuturnya.

"Kalau di Kota Bandung dilaksanakan, itu harus diikuti oleh Kabupaten Bandung atau daerah lainnya yang berbatasan dengan Kota Bandung. Agar tidak ada aktivitas sama sekali. Jadi memang sulit. Idealnya itu satu pulau,” katanya.

Lebih lanjut Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Unpad ini mengimbau masyarakat dan pemerintah jangan sampai gelagapan dengan kemunculan varian delta ini.

Sebab, kunci utama dalam menghadapi setiap pandemi virus yakni dengan disiplin menjalankan protokol kesehatan.

“Dari sisi penanganan kesehatan masyarakat, ternyata varian apapun itu cara penanganannya sama. Yaitu dengan menerapkan 5M dan 3T,” ucap Irvan.

Irvan memaparkan, dari kasus yang sudah ada sebelumnya, ketika terjadi pandemi maka terdapat dua kemungkinan. Pertama, virusnya ikut mati terbawa bersama orang-orang yang terkonfirmasi terpapar. Praktis dengan risiko banyaknya korban berjatuhan lantaran virus bermutasi semakin kuat.

Kemungkinan kedua, lanjut Irvan, ketika virus mengalami mutasi tetapi menghasilkan sifat baru yang tidak lebih ganas dan mudah menyebar. Sehingga virus akan menghilang dengan sendirinya lantaran mutasi baru justru lebih lemah.

Menurut Irvan, mutasi virus tersebut berpengaruh terhadap upaya pemberian vaksin. Karena vaksin dikembangkan berdasarkan suatu jenis virus yang ditemukan di tempat tertentu.

Apabila mutasi virus mirip dengan virus awal yang dijadikan dasar vaksin bisa jadi masih efektif.

“Kalau tidak, ada risiko untuk kurang efektif. Tetapi selain varian berbeda, ada aspek lain dari faktor orangnya yang memiliki respons berbeda terhadap vaksin. Karena tidak semua populasi sama. Setiap ras memiliki pola respons yang berbeda,” terangnya.

Sebelumnya diberitakan, Masyarakat di 12 kota dan kabupaten yang ada di Jawa Barat bakal mengalami pembatasan-pembatasan aktivitas yang lebih ketat menyusul telah diketok palunya PPKM Darurat Jawa-Bali oleh Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi memutuskan, PPKM Jawa-Bali diberlakukan selama medi0 3-20 Juli 2021. Keputusan itu diambil setelah mendapatkan masukan dari para menteri, ahli kesehatan dan kepala daerah.

"Saya memutuskan untuk memberlakukan PPKM Darurat 3-20 Juli 2021 khusus di Jawa dan Bali," kata Jokowi dalam keterangan pers, Kamis (1/7/2021) dilansir Suara.com.

"PPKM darurat ini akan meliputi pembatasan-pembatasan aktivitas masyarakat yang lebih ketat daripada yang selama ini sudah berlaku," ucap dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini