SuaraJabar.id - Jelang penetapan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kota/kabupaten (UMK) pada November mendatang, kalangan buruh pun mulai menyuarakan tuntutan perihal kenaikan upah.
Serikat Buruh Seluruh Indonesia 92 (SBSI 92) misalnya, Ketua DPD SBSI 92 Jawa Barat, Ajat Sudrajat menegaskan, target minimal tuntutan kenaikan upah adalah 6,5 persen untuk UMP. Sementara, untuk UMK lebih bervariasi, di kisaran 10 persen.
"Kita punya target minimal, sekurang-kurangnya di angka 6,5 persen itu berdasarkan laju pertumbuhan kuartal tiga. Logis, kalau di nasional kan sudah di angka 7 sekian. Untuk daerah-daerah di kota kabupaten variatif ada yang 10 persen," kata saat dihubungi Suara.com, Jumat (15/10/2021).
"Ingat ini minimum, ya. Soalnya, fakta di lapangan mininum itu malah jadi suka jadi maksimum," tegas Ajat.
Baca Juga:Bacok Pencuri Ikan, Pakar Hukum Undip Sebut Mbah Minto Warga Demak Itu Bisa Bebas
Ajat mengatakan, penetapan UMP itu akan jatuh pada tanggal 20 November mendatang. Sementara, untuk UMK pada tanggal 30 November.
Tanggal tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tentang pengupahan, sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Cipta Kerja (Omnibus law).
"Dulu ketika masih UMP itu di 1 Oktober sementara UMK di tanggal 20-21 November," jelasnya.
"Kami mengarahkan untuk di daerah dulu yang dimaksimalkan, jangan dulu dibawa ke provinsi," tegasnya.
Pada dasarnya, lanjut Ajat, SBSI '92 menolak formulasi PP yang baru itu. Alasannya, tidak ada kepastian penetapan UMK. Dalam regulasi tersebut, Ajat menilai, penetapan UMP bersifat wajib, tapi untuk UMK hanya bersifat 'dapat'.
Baca Juga:Pemerintah Jawa Barat Siapkan Bonus Ratusan Juta bagi Atlet Berprestasi di PON Papua
"Jadi, kalau 'dapat' itu kan bisa iya, bisa tidak," katanya.